Saturday, May 14, 2011

LPM Untan Raih Penghargaan ISPRIMA 2011

Semarang, Sabtu (7/5) – Untuk pertama kalinya dalam sejarah, sebuah apresiasi terhadap sampul muka pers mahasiswa se-Indonesia diselenggarakan. Adalah Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat bekerjasama dengan Universitas Diponegoro melalui BEM-KM Undip, menghelat ajang Indonesia Student Print Media Awards (ISPRIMA) 2011.

Lima puluh dua peserta (entri) dari 34 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang mewakili regional Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusra, Kalimantan, Sulawesi, serta kategori khusus Jawa Tengah, ikut ambil bagian dalam acara ini. Setelah melalui serangkaian penilaiandari tiga orang juri yang terdiri dari M. Ridlo ‘Eisy (anggota dewan Pers/ Ketua Harian SPS Pusat), Asmono Wikan (Direktur Eksekutif SPS Pusat), da Kukuh Sanyoto ( Direktur Eksekutif Newspaper in Education Indonesia), 17 Pemenang berhasil ditentukan. Penilaian ISPRIMA mencakup tiga hal pokok, berupa gagasan atau ide yang memiliki bobot paling besar 40 persen. Kemudian aspek visual 30 persen dan copy atau teks 30 persen.

Hari Sabtu lalu 7 Mei 2011 di Semarang, SPS Pusat dan Undip melalui BEM-KM dan didukung oleh Dewan Pers, mengundang para pemenang ISPRIMA dari seluruh Indonesia untuk menerima apresiasi. Penghargaan kepada para pemenang ISPRIMA ini dikemas dalam sebuah konvensi nasional bertajuk “Jurnalisme Pers Mahasiswa dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia”. “ISPRIMA adalah cara kamu untuk menghargai karya kreatif dan idealisme para pegiat pers mahasiswa di Indonesia. Agar mereka makin kompetitif dan berkualitas dalam berkarya, sekaligus produknya dapat dibaca oleh mahasiswa sebagai basis pembaca terbesar,” ujar Asmono Wikan, Direktur Eksekutif SPS Pusat.

Tiga orang pembicara tampil dalam konvensi ini. Mereka adalah Ketua Dewan Pers Prof. Bagirmanan, Anggota dewan Pers Agus Sudibyo, dan Redaktur Pelaksanan Sura Merdeka Gunawan Permadi. Di sela-sela konvensi, akan diserahkan penghargaan kepada para pemenang ISPRIMA 2011. “Kami mengagendakan, ISPRIMA akan diselenggarakan setiap tahun, menjadi bagian integral dari upaya SPS untuk mengembangkan pers di Indonesia. Apalagi di sisi pers komersial, kami juga telah memiliki ajang apresiasi berupa Indonesia Print Media Awards (IPMA) yang tahun ini memasuki tahun kedua,” imbuh Asmono. (pan) []

Selengkapnya pemenang ISPRIMA 2011 adalah sebagai berikut:


Kategori Non-Majalah Sumatera

Bronze Winner – Suara USU, “Carut Marut Jaket Almamater Hilangnya Simbol Mahasiswa”


Kategori Non-Majalah Jawa

Silver Winner – Manifest, “Pergerakan Untuk Keadilan Lingkungan”

Silver Winner – Balkon, “Utopia Representasi KM UGM”

Bronze Winner – Replik, “Euforia Sang Pelopor Kampus Baru Tembalang”


Kategori Majalah Jawa

Gold Winner – Tegalboto, “Abormalitas”

Silver Winner – Gema Keadilan, “Wajah Hukum Masa Depan Seperti Apa?”

Silver Winner – Equilibrium, “Pariwisata Budaya: Primadona Pembangunan Ekonomi”

Silver Winner - Kalpadruma, “Uniquely Solo”

Bronze Winner – Suara Mahasiswa, “Hitam Putih Pendidikan Indonesia”

Bronze Winner – Hayamwuruk, “Titik Temu Antara Fakta dan Fiksi”


Kategori Non-Majalah Khusus Jawa Tengah

Bronze Winner – Edukasi, “Melawan Imperialisme Bahasa”

Bronze Winner – Quantum, “Pendidikan Virtual Untuk Semua”


Kategori Majalah khusus Jawa Tengah

Bronze Winner - Dimensi, “Memusiumkan Musium”

Bronze Winner – Agrica, “ Terdiskriditkan Problema Permodalan Petani”


Kategori Majalah Bali dan Nusa Tenggara

Silver Winner – Injeksi, “ World Aids Day”


Kategori Non-Majalah Kalimantan

Bronze Winner – Civitas – Mimbar Untan, “Transparansi Dana Untan Kurang Sosialisasi”


Kategori Non-Majalah Sulawesi

Bronze Winner – Identitas Unhas, “Menuju Jakarta Kedua”


Best of The Best National Magazine

Tegalboto, “Abnormalitas”


Best of The Best National Non-Magazine

Manifest, “Pergerakan Untuk Keadilan Lingkungan”

Tuesday, May 10, 2011

Undangan MuBes LPMU XIII

UNDANGAN

Kepada Yth.
Alumni-Alumni Mimbar Untan - Lembaga Pers Mahasiswa Untan
di tempat

Dengan hormat,
Bersama dengan ini kami ingin menyampaikan undangan kegiatan Musyawarah Besar Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Tanjungpura Pontianak XIII. Adapun kegiatan tersebut akan dilaksanakan pada:

Hari: Sabtu-Minggu
Tanggal: 21-22 Mei 2011
Waktu: Pk. 08.00 - selesai
Tempat: Sekretariat LPM Untan

Kami sangat mengharapkan partisipasi dari para alumni untuk hadir. Demikian surat undangan ini kami sampaikan. Atas perhatian yang diberikan kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,
Panitia Mubes XIII
Pengurus LPM Untan P. 2010-2011

Saturday, May 8, 2010

majalah mimbar untan / edisi v / mimbar resensi

politik cacatkan esensi pendidikan indonesia

 

Judul Buku    :   Menggugat Pendidikan Indonesia

Penulis            :   Moh. Yamin

Cetakan          :   Januari, 2009

Penerbit          :   Ar-Ruz Media

Tebal              :   300 Halaman

Presensi          :   Ermawati Puspitasari

 

        Buku ini secara tajam dan lugas mengkritik pendidikan Indonesia yang secara garis besar mengorbankan hak-hak warga negara. Pendidikan seolah-olah hanya sebagai alat kepentingan bagi para penguasa. Pendidikan yang seharusnya berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang berkarakter, berwawasan dan berilmu sepertinya hanya sebuah permainan politik saja.

Menurut penulis buku ini, semua kesalahan berawal dari banyaknya kesalahan dalam konsep pendidikan di negeri kita. Sistem pembelajaran yang dimulai dari CBSA, KBK, hingga KTSP, belum mampu membuahkan prestasi yang memuaskan. Semua hanyalah omong kosong yang cenderung hanya memberi keuntungan bagi para pemilik kekuasaan. Ditambah lagi otonomi kampus, yang diterapkan diseluruh PTN di negeri kita ini memberi ruwet kurikulum yang harus dihadapi mahasiswa. Karena itu, tak heran apabila para pengamat, pemikir hingga para peneliti pendidikan mengatakan bahwa lembaga pendidikan saat ini sebenarnya mengabdi pada sebuah kepentingan semata dan bukan sebagai sarana pembebasan bagi kaum tertindas sehingga tak heran apabila Francis Wahono dengan beraninya mengatakan bahwa sistem pendidikan di negeri ini lebih berpola pada pendidikan model Anjing. Ironis memang!. Bahkan sangat menyedihkan mengingat bagaimana penididikan di negeri kita ini. Semua serasa bertolak belakang dari apa yang telah dicita-citakan oleh bangsa kita.

Bahkan Indonesia, terkait kualitas pendidikannya berdasarkan hasil penelitian UNDP (United Nation Development Program) berada pada tingkat 109. sementara Singapura, Malaysia, Filiphina dan Thailand berada pada angka 24 dan 34. secara tegas, potret jebloknya pendidikan di negeri ini mustahil mampu membangun karakter bangsa seperti apa yang diharapkan, karena segala infrastruktur dan suprastrukturnya sudah bobrok.

Selain menggambarkan bagaimana realita keadaaan pendidikan bangsa kita sekarang, Buku ini juga memperlihatkan bagaimana konsep pendidikan orde lama, orde baru dan orde reformasi sebagai pencerminan konsep ideal bagi pendidikan. Pada orde lama diterangkan bahwa konsep pendidikan cenderung mengarah pada asas sosialis yang mendapatkan prinsip dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa harus memandang kelas sosial baik dari kalangan atas, menengah, maupun bawah. Sedangkan konsep pendidikan ala orde baru cenderung sebagai alat kepentingan bagi para penguasa. Pada masa ini kreatifitas masyarakat pendidikan serasa dibungkam dan dipasung agar tidak bersuara lantang yang dapat membahayakan kepentingan kekuasaan para penguasa. Ditambah lagi pendidikan pada saat memasuki era reformasi belum dikatakan mampu untuk bangkit dari keterpurukan. Pendidikan di masa ini dianggap hanyalah sebuah produk kapitalis yang diharapkan dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya (Komersialisme).

Buku ini mengajak kita untuk berpikir bagaimana mungkin negara kita dapat menciptakan manusia-manusia yang berkarakter, berkualitas, berkepribadian memiliki wawasan luas sedangkan konsep yang dihadirkan hanyalah sebuah konsep yang tak ada bedanya sebuah ujicoba permainan. Penulis bisa mengatakan konsep pendidikan yang ada di negeri kita ini sebagai sebuah permainan karena kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang kerap kali berubah dengan alasan globalisasi menuju perbaikan namun adakah implementasi dari semua itu?

Dengan membaca buku ini, penulis mengajak kita sebagai regenerasi untuk melanjutkan perjuangan para pahlawan yang telah berjuang habis-habisan hingga titik darah penghabisan demi kemerdekaan bangsa dengan mengajak kita bersama-sama untuk menyelamatkan pendidikan kita dengan menata ulang kembali konsep pendidikan yang dinilai tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dimulai dari penerapan-penerapan kebijakan yang responsif, pelaksanaan yang dialogis sehingga pendidikan akan kembali pada peran awalnya yakni sebagai alat pendidikan.

Alternatif konsep pendidikan yang menarik dan ideal, terutama bagi para pembuat kebijakan-Pemerintah-dapat meniru atau belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara yang menawarkan konsep pendidikan yang memperjuangkan aspirasi masyarakat, tidak neko-neko tetapi pas dengan realita yang dihadapi masyarakat Indonesia.

 

  1. Pendidikan Ala Paulo Freire

Program-program pendidikan yang ditawarkan Paulo sangat progresif, seperti pendidikan orang dewasa, restrukturisasi kurikulum, partisipasi masyarakat dan seperangkat kebijakan ambisius menuju demokratisasi. Satu hal yang cukup menarik bila menelaah lebih jauh mengenai pendidikan ala Paulo Freire ini, yakni pendidikan merupakan suatu tindakan politis yang selalu melibatkan hubungan sosial dan pilihan-pilihan politik. Pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan hubungan sosial yang artinya pendidikan dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi perubahan sosial yang ada.

Oleh karenanya, mencermati konsep pendidikan yang digagas Paulo Freire ini cukup luar biasa untuk terus menerus menghidupkan konsep pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat saat ini.

Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia, membangkitkan kesadaran kritis, dan transformatif untuk mengubah nasib kehidupan yang sedang terpuruk menuju kebangkitan dan mengangkat masyarakat tertindas menuju ke kelas yang bermartabat, berkemanusiaan dan memiliki hak sama dengan masyarakat lainnya baik untuk dihormati, dihargai maupun beraktualisasi diri.

Paulo meneriakkan sebuah gagasan pendidikan perlawanan terhadap segala bentuk yang membunuh hajat hidup orang banyak tanpa memandang status sosial tertentu, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah.

Gagasan Paulo Freire ini tidak hanya menggerakkan dorongan masyarakat agar bisa membaca dan menulis kata. Lebih dari itu, Freire mengajak masyarakat agar dapat membaca dunia. Dengan kata lain, membaca kata itu merupakan jembatan menuju pembacaan dunia secara lengkap, komprehensif dan holistik.

Menurut Paulo Freire, harapan dan keinginannya dalam suatu konsep pendidikan yang diperjuangkan adalah pendidikan yang mampu memberikan warna dan arah baru perubahan struktur berfikir masyarakat dari masyarakat yang berpikiran magis dan naif menuju masyarakat yang berpikiran kritis. Karena tujuan awal pendidikan ala Paulo Freire ini adalah agar masyarakat mampu menemukan identitas dirinya tanpa meniru ataupun menjiplak orang lain.

 

  1. Pendidikan Ala Ki Hadjar Dewantara

Konsep pendidikan yang ditawarkan Ki Hadjar Dewantara adalah sistem pendidikan baru yang berdasarkan atas kebudayaan bangsa sendiri, mengutamakan kepentingan masyarakat, bukan mengambil kebudayaan dan perilaku hidup bangsa asing yang kemudian dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional.

Karena menurut Ki Hadjar Dewantara, konsep pendidikan bangsa asing hanya menekankan pada akal semata namun menegasikan akal budi yang dapat mempertajam kepekaan sosial terhadap sesama anaka bangsa. Konsep ini tidak sesuai dengan cermin bangsa kita. Negara kita tidak membutuhkan konsep pendidikan yang membuat kita bergantung pada bangsa lain. Bila konsep ini diberlakukan, maka dapat menghancurkan bangsa kita yang besar ini.

Satu hal yang cukup menarik terkait konsep pedidikan yang ditawarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, yakni bagaimana peran keluarga, sekolah dan masyarakat mampu menjadi motor pembentukan karakter dan mentalitas anak.

Jelas dapat diprediksi apa yang akan terjadi bila si anak hidup ditengah keluarga brokenhome, sekolah yang amburadul serta masyarakat yang diskriminatif, maka jiwa sang anak akan selalu labil, tidak berkembang, menjadi pemberontak, tidak berwawasan serta tidak bermoral.

Maka dari itu, Ki Hadjar Dewantara mengajarkan segala sesuatunya itu dari dasar. Bila bermula dari sesuatu yang baik, maka akan berbuah baik juga. Begitu juga dalam pendidikan, bila konsep yang ditawarkan sesuai dengan cita-cita bangsa kita, maka akan membuahkan manusia-manusia yang cerdas bukan hanya dari segi intelektualnya namun juga budi pekertinya.