Serginof Sang Penyair Gila
Oleh Heriyanto
Beograd hari itu lelah. Matahari yang panas membakar jalan-jalan. Tanah kering kerontang, daun-daun rontok berserakan di pelataran taman yang tak terawat di jalan Gravilla dekat Kota Tua. Di sanalah Serginof suka berkeliling, menyusuri jalan-jalan yang padat dengan kaki telanjang dan pakaian yang kumal. Pria yang aneh, yang tak memikirkan penampilannya meski orang-orang akan memandanginya dengan jijik layaknya memandangi kotoran. Orang-orang tak suka dengan baunya yang busuk itu. Sudah dipastikan mereka akan menutup hidung bila berpapasan dengannya. Atau bila masih bisa mereka akan menghindar dan mencari jalan yang agak jauh agar tak berpapasan dengan Serginof.
Namun sebaliknya anak-anak justru suka bila Serginof datang. Mereka akan tertawa cengengesan bila lemparan batu kerikil kecil yang dipungut dari pingggir-pinggir jalan mengenai badan Serginof. Batu kerikil itu leluasa bermain-main di tubuh Serginof yang ringkih. Serginof diam saja, tak menghiraukan. Sesekali dia meringis, meski begitu ia tak berniat mengejar anak-anak yang melemparnya seperti orang gila kebanyakan. Tapi begitulah Serginof setiap harinya. Besoknya Serginof akan lupa kejadian kemarin dan akan dengan santai melewati jalan yang sama. Ia memang tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya.
Si Gila, begitulah orang-orang orang-orang komplek menjulukinya. Julukan itu sangat tepat untuk Serginof yang kumal, lecek, dan kotor. Tapi benarkah dia gila? Tapi adakah orang gila yang mampu menulis bait-bait syair yang indah? Sudah ribuan bait puisi yang ia buat. Puisi-puisi itu dikumpulkanya dalam kotak-kotak yang tertumpuk di sebuah gudang bekas penyimpangan bir bergambar orangtua berjenggot. Entah untuk apa Serginof terus saja menulis syair, tak ada yang tahu.
Sesungguhnya Serginof tak benar-benar gila. Ia hanya ingin bebas saja seperti orang gila kemana saja tanpa beban, tanpa terikat status sosial, dan tanpa aturan-aturan kemanusiaan yang selalu mengekang. Dia pun tak perlu membeli baju yang bagus atau yang sepatu mengkilat seperti yang selalu dibangga-banggakan Ayahnya si Brodus yang pongah. Tapi lebih dari semua itu Serginof ingin menjauh dari kehidupan yang pernah mengecewakannya.
Serginof muda adalah orang yang tampan, cerdas dengan bakat sastra yang luar biasa jenius dan berasal dari keluarga terhormat kelas atas. Serginof seorang sarjana lulusan Faculty Of Art yang mengambil spesialisasi pada syair-syair lama. Gaya hidupnya mentereng dengan pakaian yang selalu klimis dan rapi. Dengan penghasilan yang lebih dari cukup dari hasil royalty penulisan buku-bukunya yang laku keras di semua penerbitan ia bisa mendapatkan segalanya termasuk wanita yang cantik nan genit. Namun pilihan justru pada seorang gadis sederhana penjual buah di pinggir jalan Gravilla. Tapi malangnya gadis itu tewas tertabrak mobil pengangkut buku-buku puisinya pada hari yang sama saat ia ingin membacakan sebait puisi yang indah di depan gadis itu. Serginof lupa bahwa tak selamanya semua hal bisa dia dapatkan. Gadis itu bukan ukuran gadis yang bisa diterima keluarganya. Penjual buah tak pernah masuk dalam catatan – sesuai tradisi keluarga— untuk dijadikan sebagai menantu. Belakangan Serginof ketahui ayahnyalah yang merencanakan tabrakan itu.
Serginof terpukul. Hari-hari yang gelap yang ia tak mampu hadapi sebagai orang yang waras, sampai suatu ketika dia merasa terbebas sama sekali dari beban setelah memutuskan menjadi orang yang gila. Ia terbebas dari harta benda dan keinginan-keinginan orang yang waras. Satu-satunya barang miliknya hanyalah buku tulis berkover hijau lumut dan pena yang terbuat dari bambu yang selalu ia bawa ke mana-mana.
Serginof akan lama diam mematung di pinggir Water Garden di Pusat Kota Tua memandangi patung lelaki telanjang di tengah air mancur yang dari kemaluannya mengucur air yang gemericik. Dia suka dengan bunyi gemericik itu. Lebih suka dari musik klasik yang dulu sering diputar dikeluarganya sebagai penanda kehormatan keluarga kelas atas.
Serginof suka menulis-nulis sesuatu di buku catatan berkover hijau lumut itu. Dibacanya kembali tulisan yang ia buat dengan suara yang lirih. Diejanya satu persatu, dicoretnya kalimat yang tak sesuai, dan diganti dengan kata-kata yang baru. Sesekali dijentik-jentikanya kertas yang baru saja ia tulis seperti anak kecil yang sedang menggambar. Dia akan senang kegirangan, memutar-mutar tubuhnya seperti kincir angin, dan tertawa sekeras mungkin, bila tulisan itu sudah mengena di hatinya.
Entah mengapa ia selalu merasakan kesenangan menjadi orang yang gila. Dia akan mengawasi kehidupan orang-orang yang waras dan kemudian mencatatnya menjadi sebuah bait syair yang sarkas. Kadang juga ia ingin membuat catatan-catatan yang indah dari berita-berita pembunuhan yang selalu ia baca dari koran-koran kriminal yang ia dapatkan secara cuma-cuma dari tong-tong sampah. Dengan begitu dia bisa menyelami banyak hal kecil dan mungkin sepele yang tak diperhatikan orang yang waras.
Baginya orang-orang yang waras justru orang yang gila dan tak punya moral ketimbang orang yang benar-benar gila. Orang-orang berpakain seragam yang selalu tampil dengan tampang galak itu selalu mengejar-ngejarnya ingin menangkapnya. Suatu siang yang panas dia berhasil tertangkap juga oleh petugas ketertiban kota yang kemudian mengangkutnya dengan sebuah truk terbuka. Serginof mencoba lari, tetapi tertangkap lagi. Ia dipukuli berkali-kali. Tapi beruntung di sebuah belokan yang sepi ketika para petugas itu lengah Serginof berhasil melarikan diri.
Serginof lari jauh-jauh dari kota, pindah ke tepi sebuah danau yang tak berpenghuni yang terbebas dari para petugas ketertiban. Ia duduk di bawah pohon rindang, menyandarkan badannya pada batang pohon. Wajahnya Tampak letih dan kusam dengan rambut yang acak-acakan tak pernah disisir. Napasnya ngos-ngosan seperti sapi yang lehernya dijerat tali. Matanya nanar yang kosong memandang ke danau yang berlumut.
Tangan kanan Serginof yang kasar itu memegang pulpen sementara tangan kirinya memegang buku catatan berkover hijau. Disentil-sentilnya pulpen bambunya dengan ujung jarinya untuk menurunkan tinta agar mudah menulis. Selanjutnya ia semakin tak peduli pada dunia. Dia tenggelam dalam dunia sunyi, dunia yang indah dan bebas. Dia kini menjadi Gila. Benar-benar gila.[]
Oleh Heriyanto
Beograd hari itu lelah. Matahari yang panas membakar jalan-jalan. Tanah kering kerontang, daun-daun rontok berserakan di pelataran taman yang tak terawat di jalan Gravilla dekat Kota Tua. Di sanalah Serginof suka berkeliling, menyusuri jalan-jalan yang padat dengan kaki telanjang dan pakaian yang kumal. Pria yang aneh, yang tak memikirkan penampilannya meski orang-orang akan memandanginya dengan jijik layaknya memandangi kotoran. Orang-orang tak suka dengan baunya yang busuk itu. Sudah dipastikan mereka akan menutup hidung bila berpapasan dengannya. Atau bila masih bisa mereka akan menghindar dan mencari jalan yang agak jauh agar tak berpapasan dengan Serginof.
Namun sebaliknya anak-anak justru suka bila Serginof datang. Mereka akan tertawa cengengesan bila lemparan batu kerikil kecil yang dipungut dari pingggir-pinggir jalan mengenai badan Serginof. Batu kerikil itu leluasa bermain-main di tubuh Serginof yang ringkih. Serginof diam saja, tak menghiraukan. Sesekali dia meringis, meski begitu ia tak berniat mengejar anak-anak yang melemparnya seperti orang gila kebanyakan. Tapi begitulah Serginof setiap harinya. Besoknya Serginof akan lupa kejadian kemarin dan akan dengan santai melewati jalan yang sama. Ia memang tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya.
Si Gila, begitulah orang-orang orang-orang komplek menjulukinya. Julukan itu sangat tepat untuk Serginof yang kumal, lecek, dan kotor. Tapi benarkah dia gila? Tapi adakah orang gila yang mampu menulis bait-bait syair yang indah? Sudah ribuan bait puisi yang ia buat. Puisi-puisi itu dikumpulkanya dalam kotak-kotak yang tertumpuk di sebuah gudang bekas penyimpangan bir bergambar orangtua berjenggot. Entah untuk apa Serginof terus saja menulis syair, tak ada yang tahu.
Sesungguhnya Serginof tak benar-benar gila. Ia hanya ingin bebas saja seperti orang gila kemana saja tanpa beban, tanpa terikat status sosial, dan tanpa aturan-aturan kemanusiaan yang selalu mengekang. Dia pun tak perlu membeli baju yang bagus atau yang sepatu mengkilat seperti yang selalu dibangga-banggakan Ayahnya si Brodus yang pongah. Tapi lebih dari semua itu Serginof ingin menjauh dari kehidupan yang pernah mengecewakannya.
Serginof muda adalah orang yang tampan, cerdas dengan bakat sastra yang luar biasa jenius dan berasal dari keluarga terhormat kelas atas. Serginof seorang sarjana lulusan Faculty Of Art yang mengambil spesialisasi pada syair-syair lama. Gaya hidupnya mentereng dengan pakaian yang selalu klimis dan rapi. Dengan penghasilan yang lebih dari cukup dari hasil royalty penulisan buku-bukunya yang laku keras di semua penerbitan ia bisa mendapatkan segalanya termasuk wanita yang cantik nan genit. Namun pilihan justru pada seorang gadis sederhana penjual buah di pinggir jalan Gravilla. Tapi malangnya gadis itu tewas tertabrak mobil pengangkut buku-buku puisinya pada hari yang sama saat ia ingin membacakan sebait puisi yang indah di depan gadis itu. Serginof lupa bahwa tak selamanya semua hal bisa dia dapatkan. Gadis itu bukan ukuran gadis yang bisa diterima keluarganya. Penjual buah tak pernah masuk dalam catatan – sesuai tradisi keluarga— untuk dijadikan sebagai menantu. Belakangan Serginof ketahui ayahnyalah yang merencanakan tabrakan itu.
Serginof terpukul. Hari-hari yang gelap yang ia tak mampu hadapi sebagai orang yang waras, sampai suatu ketika dia merasa terbebas sama sekali dari beban setelah memutuskan menjadi orang yang gila. Ia terbebas dari harta benda dan keinginan-keinginan orang yang waras. Satu-satunya barang miliknya hanyalah buku tulis berkover hijau lumut dan pena yang terbuat dari bambu yang selalu ia bawa ke mana-mana.
Serginof akan lama diam mematung di pinggir Water Garden di Pusat Kota Tua memandangi patung lelaki telanjang di tengah air mancur yang dari kemaluannya mengucur air yang gemericik. Dia suka dengan bunyi gemericik itu. Lebih suka dari musik klasik yang dulu sering diputar dikeluarganya sebagai penanda kehormatan keluarga kelas atas.
Serginof suka menulis-nulis sesuatu di buku catatan berkover hijau lumut itu. Dibacanya kembali tulisan yang ia buat dengan suara yang lirih. Diejanya satu persatu, dicoretnya kalimat yang tak sesuai, dan diganti dengan kata-kata yang baru. Sesekali dijentik-jentikanya kertas yang baru saja ia tulis seperti anak kecil yang sedang menggambar. Dia akan senang kegirangan, memutar-mutar tubuhnya seperti kincir angin, dan tertawa sekeras mungkin, bila tulisan itu sudah mengena di hatinya.
Entah mengapa ia selalu merasakan kesenangan menjadi orang yang gila. Dia akan mengawasi kehidupan orang-orang yang waras dan kemudian mencatatnya menjadi sebuah bait syair yang sarkas. Kadang juga ia ingin membuat catatan-catatan yang indah dari berita-berita pembunuhan yang selalu ia baca dari koran-koran kriminal yang ia dapatkan secara cuma-cuma dari tong-tong sampah. Dengan begitu dia bisa menyelami banyak hal kecil dan mungkin sepele yang tak diperhatikan orang yang waras.
Baginya orang-orang yang waras justru orang yang gila dan tak punya moral ketimbang orang yang benar-benar gila. Orang-orang berpakain seragam yang selalu tampil dengan tampang galak itu selalu mengejar-ngejarnya ingin menangkapnya. Suatu siang yang panas dia berhasil tertangkap juga oleh petugas ketertiban kota yang kemudian mengangkutnya dengan sebuah truk terbuka. Serginof mencoba lari, tetapi tertangkap lagi. Ia dipukuli berkali-kali. Tapi beruntung di sebuah belokan yang sepi ketika para petugas itu lengah Serginof berhasil melarikan diri.
Serginof lari jauh-jauh dari kota, pindah ke tepi sebuah danau yang tak berpenghuni yang terbebas dari para petugas ketertiban. Ia duduk di bawah pohon rindang, menyandarkan badannya pada batang pohon. Wajahnya Tampak letih dan kusam dengan rambut yang acak-acakan tak pernah disisir. Napasnya ngos-ngosan seperti sapi yang lehernya dijerat tali. Matanya nanar yang kosong memandang ke danau yang berlumut.
Tangan kanan Serginof yang kasar itu memegang pulpen sementara tangan kirinya memegang buku catatan berkover hijau. Disentil-sentilnya pulpen bambunya dengan ujung jarinya untuk menurunkan tinta agar mudah menulis. Selanjutnya ia semakin tak peduli pada dunia. Dia tenggelam dalam dunia sunyi, dunia yang indah dan bebas. Dia kini menjadi Gila. Benar-benar gila.[]