Tuesday, January 15, 2008

Opini Civitas edisi 42

Ironi Pendidikan Dalam Negeri
Oleh: Mery Endriani


Pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan positif malah cenderung memburuk. Data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Indeks) menunjukkan IPM Indonesia yang makin menurun. Diantara 174 negara dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke 105 (1998), dan ke-109 (1999). Yang tidak kalah memprihatinkan adalah Survei Political dan Economic Risk Consultan (PERC) yang mengatakan, kualitas pendidikan Indonesia berada di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang salah dengan pendidikan di Negara kita ini? jawabnya banyak, banyak sekali masalah yang dihadapi. Menurut M.Shiddiq Al-Jawi (http :// www.mii.fmipa.ugm.ac.id/new/?p=121) ada dua kategori masalah dalam system pendidikan Indonesia, yaitu masalah mendasar dan masalah cabang. Masalah mendasar, yaitu kehadiran paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaraan sistem pendidikan. Sedangkan masalah cabang antara lain: Rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi mahasiswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.
Pendidikan erat kaitannya dengan tenaga pengajar. Walaupun tenaga pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, namun pengajaran merupakan pusat dari pendidikan dan kualifikasi. Kualitas pendidikan merupakan tanggung jawab seorang tenaga pengajar sehingga profesionalisme tenaga pengajar berbanding lurus dengan keberhasilan pendidikan. Untuk itulah tulisan ini menitikberatkan pada kualitas guru dan lembaga pendidikan (Universitas) yang mempersiapkan calon-calon tenaga pengajar, karena toh akan menjadi seorang pendidik, calon guru pun harus dididik terlebih dahulu.
Tahukah anda bahwa ternyata sebagian besar guru di Indonesia tidak layak mengajar. Pada tahun 2002-2003, ternyata hanya 21,07 % guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang layak mengajar dan 28,94 % guru SD swasta layak mengajar; SMP 54,12 % (negeri) dan 60,99 % (swasta); SMA 65,29 % (negeri) dan 64,73 % (swasta); SMK 55.49 %(negeri) dan 58,26 % (swasta). Kelayakan mengajar berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas) (1998) menunjukkan 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8 % yang berpendidikan D2-kependidikan keatas; sekitar 680.000 guru SLTP/MTS baru 38,8 % berpendidikan D3-kependidikan keatas dan 3,48 % berpendidikan S3.
Banyak wacana yang mengatakan bahwa kualitas guru dan pengajar dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kesejahteraan mereka. Tapi, secara pribadi, kok sepertinya pendapat ini cenderung “merendahkan” profesi guru. Seolah-olah guru akan berbuat lebih banyak apabila mereka sejahtera, dengan kata lain gajinya ditambah. Atau seolah-olah pula komitmen seorang guru dalam mengajar ditentukan oleh besar kecilnya gaji yang diterima. Saya sangat setuju apabila pahlawan tanpa tanda jasa ini benar-benar diperhatikan kesejahteraannya namun tidak dapat dijadikan solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Ketika para calon pengajar menginjakkan kaki ke kampus FKIP seharusnya mereka sudah merasakan bahwa menjadi seorang guru adalah panggilan. Dani Ronnie M dalam bukunya “ The Power Of Emotional & Adversity Quotient For Teachers” menyatakan bahwa ketika kita menyikapi pekerjaan yang kita lakukan sebagai sebuah panggilan, maka ia akan menjadi sebuah pengabdian, pengabdian akan berbuah sesuatu yang luar biasa dan akan berimbas kesuksesan sebagai bonusnya.
Pada Yudisium Agustus 2007, saya bertanya pada seorang lulusan FKIP jurusan Bahasa Inggris dengan predikat Cum Laude tentang rencananya ke depan. Dengan mantap ia menjawab,”Saya ingin mencoba bidang lain”. Artinya dia tidak ingin menjadi guru, entah dari awal dia kuliah atau setelah memiliki “Visi yang lebih luas”. Adik saya yang juga telah lulus dari FKIP pada awalnya tidak ingin menjadi guru. Dan suatu ketika seorang dosen bertanya di kelas saya siapa yang datang ke FKIP dengan tujuan ingin menjadi guru. Tebak berapa orang yang mengangkat tangan ?. Jika anda menjawab 10, itu terlalu banyak. Kenyataannya hanya saya yang mengangkat tangan. Mungkin ada yang berpendapat bahwa komitmen itu bisa dibangun atau anda tidak serta merta mengetahui bahwa guru atau pengajar merupakan panggilan hidup anda. Tapi alangkah baiknya jika para calon-calon pengajar itu datang sebagai “Intan yang belum terasah dan keluar sebagai intan yang cemerlang”.
Lalu bagaimana dengan guru-guru SD, SMP, SMA yang tingkat pendidikannya masih belum memadai Guru-guru tersebut perlu dibiayai untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas pendidikan guru. Namun hal ini terbentur pada tingginya biaya pendidikan yang berkualitas. Dan sayangnya biaya yang tinggi dan mahal ini seringkali dibebankan pada mahasiswa. Akibatnya pendidikan tinggi yang seharusnya dimiliki oleh setiap guru-guru untuk meningkatkan kualitasnya, masih hanya berupa dambaan.
Peningkatan kualitas pendidikan merupakan kerja keras semua pihak, pemerintah, perguruan tinggi yang menelurkan guru-guru itu sendiri, serta calon-calon guru. Komitmen dan tanggung jawab dalam menjalankan profesionalitas perlu ditekankan dalam setiap diri calon guru, bahkan sejak hari pertama mereka menginjakkan kaki di kampus FKIP.[]

*Penulis opini adalah Mery Endriani mahasiswa ekstensi FKIP Untan Jurusan Bahasa Inggris Tahun 2007.