Monday, March 17, 2008

edisi 43

Filsafat Hati
Oleh Ermawati
“Matahari mengajari segala sesuatu yang menumbuhkan rindu pada genderang, namun sang malam jua yang me¬ner¬bangkanmu ke bintang-bintang.” (Kahlil Gibran)

Dia terlalu bosan untuk mengerti maknanya. Sesuatu yang dianggap ba¬si dalam hidupnya. Ia muak me¬ngekspresikannya. Dia menge¬nalnya hanya sebatas per¬gelangan na¬di di tubuhnya, tidak mendarah daging pada tubuh dan tidak pula ber¬detak searah dengan detak-detak jan¬tungnya.
Perasaan? Di mana perasaannya? Apa ia tak punya perasaan? Persetan dengan hal-hal se¬macam itu. Ia bosan dan muak terhadap semua yang telah dialaminya.
Keluarga brokenhome yang menyebabkannya rapuh. Ayah ibunya ber¬cerai dan itu yang membuatnya ke¬hilangan arah, control dan kasih sa¬yang dari orangtuanya. Hingga akhir¬nya ia memutuskan tidak memilih siapa¬pun antara ayah ibunya ketika per¬ceraian itu dianggap sah oleh penga¬dilan agama. Ia malah memilih me¬ngikuti neneknya di kota Ban¬dung. Di sana ia me¬rasa nyaman dan hidup kem¬bali. Namun hal tersebut tidak ber¬langsung lama.
Sebuah kebakaran he¬bat melahap habis kebahagiannya dan mene¬waskan neneknya dalam peris¬tiwa itu. Ditambah lagi keka¬sihnya yang meninggal karena over¬dosis me¬nambah panjang daftar pen¬deri¬taannya.
Selang beberapa bulan kemudian, sebuah penyakit mengenaskan me¬nyerang tubuhnya yang semakin mengurus. Sirosis, trend penyakit baru yakni radang hati yang kini mem¬buat penulis ternama itu terkulai lemah tak berdaya di rumah sakit tan¬pa bisa melakukan apapun.
Ya…Siapa yang tak mengenal Ka¬nia Calista. Seorang penulis novel muda terkenal. Tulisan-tulisannya mampu menyentuh perasaan sese¬orang dan tanpa harus dipak¬sakan air mata pun akan terjatuh ketika kita membaca novelnya.
Mengapa ia harus terjatuh di saat sebongkah asa dan harapan tumbuh dalam hidupnya? Masihkah ia bisa menulis di saat hatinya telah meng¬eras? Mengapa hatinya begitu sakit di saat ia senang ataupun sedih? Apakah karena sirosis atau problem-problem hidup yang dialaminya? Tak ada yang tahu, hanya ia yang tahu jawa¬bannya.
Kini penulis ternama itu sakit, koma dan tidak sadarkan diri karena sirosis sebagai vonis dari dokter.
Dalam ketidaksadarannya, ia merasa berada di dalam kegelapan malam, pada sebuah pantai yang indah dengan deburan-deburan ombak yang menghempas karang-karang batu bagaikan sebuah nya¬nyian merdu diselingi orkestra para jangkrik menambah riuh suasana. Angin semilir menyibak perlahan rambut hitamnya ditambah lagi dengan banyaknya nyiur melam¬bai, seakan-akan ikut me¬lambaikan tangan padanya. Suasana alam yang begitu ia rindukan, begitu ia kagumi dan begitu nyata dalam imajinasinya.
Dengan bantuan cahaya bulan, ia menulis dan menulis tanpa merasakan sakit pada ulu hatinya. Jantung dan darah pun ikut bekerja membantunya berpacu dengan waktu menghasilkan suatu karya, sebuah kalimat manis yang tersimpan dalam geng¬gaman¬nya.
Ia lelah. Tiba-tiba saja ia mera¬sakan sakit pada ulu hatinya. Gadis itu terbatuk-batuk dan mengeluarkan segumpal darah segar yang sangat kental. Ia menangis, terduduk di pasir itu, tersingkap dan tersujud, me¬nyen¬tuh dinginnya angin malam. Samar-samar terdengar pasir-pasir itu nernyanyi seakan-akan ingin mem¬bisikkan sesuatu dan menga¬jarkannya tentang apa yang tidak ia ketahui dari alam ini.
Purnama tetap memancarkan sinarnya yang terang benderang ditemani ribuan bintang yang ber¬ham¬paran luas diselingi debur ombak serta riuhnya daun-daun kecil yang beterbangan di sela-sela rambutnya.
Ia teruskan langkah kakinya berjalan, walau lelah ia tetap melang¬kah. Terus…terus…dan terus… mungkin sampai mengelilingi dunia ini hingga nafasnya terhenti.
Ia hanya menunggu kematian. Dengan itu ia bisa tenang. Karena di sini ia sendiri meratap tangis, sedih dan sesal. Hatinya sudah beku, hatinya sudah mati, hatinya sudah tidak bisa bicara lagi dan hatinya sudah tidak bisa memilih. Kini ia tinggal pasrah. Karena ia merasa semua yang ada dalam hatinya telah mati menjadi kepingan, serpihan tanpa ada harapan. Walaupun sebenarnya itu bukanlah akhir dari segalanya. Itu bukan akhir penan¬tian. Itu hanyalah sebuah bentuk dari keputusasaan seseorang terhadap takdirnya.
Waktu yang berjalan memompa cepat denyut nadinya. Entah menga¬pa ia semakin takut menghadapinya. Bertambahnya hari semakin meng¬urangi harapannya untuk hidup. Hidup hanyalah sebuah ilusi dalam angan, sebuah mimpi yang entah kapan akan tetap nertahan.
Mungkinkah malam ini Izrail akan datang padanya?.
Dalam diam, ia melihat sekelom¬pok dokter berupaya menyelamatkan tubuhnya yang sudah berada di ujung penghabisan. Ia hanya bisa pasrah, memejamkan kedua matanya tanpa bisa berontak, bicara ataupun berkata.
Antara nyata dan mimpi, antara sadar dan tidak, sesosok makhluk mendekatinya, tersenyum mena¬tapnya dan dengan tangannya yang lembut menarik gadis itu keluar dari jasadnya. Ya…ternyata tamu itu adalah Izrail. Pada layar monitor terdapat sebuah garis lurus panjang.
Ia tersenyum seraya memper¬hatikan tubuhnya yang sudah tidak bernyawa lagi. Akhirnya ia telah menemukan harapan hatinya. Gadis itu berjalan terus…terus…dan terus… melewati kamar-kamar pasien, melewati para dokter, suster dan orang-orang yang lalu lalang, mele¬wati lorong rumah sakit, melewati pintu-pintu utama dan menembus malam.
Derai isak tangis mewarnai kematiannya. Senyum manis masih terbentuk di bibirnya yang mungil. Dan dalam kepasrahan, sebuah kertas terjatuh dari tangan yang sudah tak bernyawa lagi. Sebuah puisi! Puisi kematian yang ia tulis saat perjalanan malam itu.

Seorang tamu akan datang padaku
Ia akan mengajakku pergi
Menembus malam menembus langit
Yang akan mengajarkanku tentang filsafat hati.[]