Saturday, June 28, 2008

EDISI 44/Opini Civitas

Audit Keuangan dan Kinerja Lembaga Mahasiswa
Otokritik Terhadap Degradasi Nilai

Oleh. Indra Aminullah)*

Semua mahasiswa harus kritis dan merenung kembali, tatkala menelaah sebuah opini yang tertuang dalam kolom surat pembaca pada Tabloid Mimbar Untan edisi 13/Thn XXV/LPM Untan/2008. Opini tersebut berjudul “KOPMA; Antara Harapan dan Kenyataan” yang di release oleh seorang mahasiswa Untan angkatan 2004. Dalam opini tersebut digambarkan bagaimana ketidakprofesionalan pengelolaan keuangan lembaga sehingga menyebabkan total anggaran senilai Rp. 48 juta hilang dari arus kas dengan alasan ketelitian dan peminjaman. Walaupun untuk alasan peminjaman, hal itu juga telah melanggar kesepakatan plafon anggaran yang diperbolehkan untuk dilaksanakannya sebuah peminjaman. Walaupun kejadian tersebut berbuntut pada pengunduran diri, tetapi tidak menghilangkan perkara bahwa pihak yang melakukan kesalahan diwajibkan untuk mengganti jumlah nominal uang yang menyebabkan kerugian lembaga tersebut. Pengembalian uang pun tidak mengubah substansi masalah yang sebenarnya yaitu penyalahgunaan dana. Menurut sy, penulis dalam surat pembaca tersebut ingin mengeksplorasi kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penghapusan piutang seperti yang terjadi pada periode sebelumnya di lembaga tersebut dengan nominal yang cukup besar.

Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah diskusi lepas, penulis juga menangkap adanya ketidakberesan dalam pengelolaan keuangan dimana sebuah lembaga eksekutif mahasiswa di tingkat fakultas menggunakan dana penyambutan mahasiswa baru untuk pembiayaan operasional lembaga sebelum dilaksanakannya pelaporan akhir kegiatan. Diakhir laporan keuangan kegiatan, pengelola tidak mengakui jumlah anggaran yang terpakai untuk operasional lembaga tersebut dikategorikan sebagai jumlah anggaran dalam perhitungan sisa akhir kegiatan. Sehingga kembali hilang dari arus kas perhitungan sisa anggaran dan melanggar asas kepatutan anggaran.

Catatan hitam keuangan lembaga semakin bertambah tatkala adanya sebuah pertanyaan, program yang dicanangkan oleh lembaga apakah sudah sesuai dengan besarnya budget yang diturunkan? Walaupun budget itu adalah hak, tetapi tidak menghilangkan kewajiban dalam pengelolaannya. Karena sejatinya, anggaran yang meningkat harus diikutsertakan dengan meningkatnya pelayanan publik dari lembaga tersebut. Sebagai sebuah analogi, bahwa sebuah dinas/instansi yang mendapatkan anggaran yang besar dari APBN/APBD maka menjadi kewajiban instansi tersebut untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Sama halnya dengan lembaga mahasiswa. Lembaga mahasiswa harus mempertajam kinerjanya sesuai dengan konteks spesialisasi. Misalnya, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) mempertajam pengayaan keilmuan, Lembaga religius mengedepankan program yang lebih berbobot dan kreatif dalam penyadaran susbstansi kehidupan, Badan Eksekutif Mahasiswa memperkuat sisi politik dan advokasi terhadap hak-hak mahasiswa dan media kampus memberikan penanaman basis wacana mahasiswa. Jika fungsi ini berjalan, maka akan terjalin sinergisitas upaya untuk menciptakan mahasiswa yang kritis, ilmiah, cerdas dan bermoral. UKM universitas juga memiliki peran dalam penguatan kapasitas mahasiswa. Semua hal itu dilakukan semata-mata karena lembaga mahasiswa dibiayai dengan menggunakan uang-uang mahasiswa yang ditarik setiap semesternya. Sehingga cukup riskan, jika kita menggunakan uang mahasiswa tetapi tidak peduli dengan mahasiswa malah membebani dengan menyelewengkan dana dari peruntukkannya atau menghabiskan biaya lebih besar untuk kebutuhan operasional belaka.

Anatomi diatas, mengisyaratkan bahwa ada yang tidak beres dalam proses perencanaan dan pengelolaan keuangan dan kinerja lembaga. Hal ini disebabkan karena lepasnya kontrol terhadap lembaga itu sendiri. Dalam tulisan ini, penulis ingin memberikan sebuah pemikiran bahwa tidak hanya birokrasi yang memiliki potensi untuk korupsi. Tetapi mahasiswa juga memiliki poteni itu sadar maupun tidak sadar. Karena penyelewengan dana terjadi ketika seseorang memiliki kekuasaan/jabatan dan kesempatan. Baik itu dalam bentuk laporan keuangan tanpa bukti atau bukti transaksi fiktif sampai pada pemotongan uang mahasiswa untuk kebutuhan operasional lembaga yang tidak rasional dan terus menerus.

Oleh karena itu, mahasiswa harus berani bertingkah professional untuk melakukan audit terhadap keuangan maupun kinerja lembaga mahasiswa. Audit tersebut bisa dilakukan dengan membentuk tim khusus dan bekerja sama dengan pihak birokrat yang memiliki kompetensi sebagai pendamping. Temuan-temuan dalam audit tersebut harus disosialisasikan sebagai bentuk transparansi lembaga mahasiswa. Karena pada dasarnya hanya lembaga professional yang berani transparan. Audit keuangan dan kinerja lembaga mahasiswa harus dengan standar yang terukur dan transparan dengan memberikan langkah-langkah kooperatif terhadap pihak yang terbukti melakukan penyelewengan dana mahasiswa. Karena tidak bisa dipungkiri kemungkinan perilaku mark up anggaran dan pembuatan dokumen transaksi palsu juga terjadi di mahasiswa sebagai cara menyeimbangkan neraca keuangan pada aspek pendapatan dan pengeluaran.

Audit kinerja maupun keuangan ini memiliki manfaat yang besar dalam: (1) mengukur capaian-capaian lembaga dan dampak program yang dibuat apakah sudah efektif, efisien dan ekonomis, (2) mengembalikan dan memperkuat jati diri mahasiswa sebagai kelompok intelektual dan bermoral, (3) menekan pemborosan anggaran untuk dampak positif yang tidak maksimal karena masih banyak mahasiswa yang kesulitan dalam membayar uang kuliah, (4) Memberikan contoh kepada birokrasi kampus untuk berani melakukan hal yang sama, yaitu profesional.

Langkah ini merupakan upaya untuk menciptakan keseimbangan profesionalisme ditingkat mahasiswa dan birokrasi.. Perilaku-perilaku mahasiswa yang telah mencemarkan nama baik mahasiswa dengan melakukan penyelewengan dana harus diberi sanksi yang tegas. Berikut pula perilaku-perilaku birokrasi yang telah mencemarkan nama baik universitas baik problem kuliah, opini indikasi pemangkasan beasiswa (sumber: civitas edisi 41) dan keuangan lainnya atau kinerja yang tidak baik harus digugat oleh mahasiswa dan birokrasi itu sendiri. Dalam konteks ini, mahasiswa harus menjalankan fungsi kontrol yang konstruktif. Mengapa fungsi kontrol itu harus dilaksanakan? Karena keberhasilan sebuah perguruan tinggi tidak hanya dilihat dari birokrasi tetapi juga mahasiswa. Karena yang kita lakukan bukan untuk menghancurkan tetapi memperbaiki. Tetapi, mahasiswa juga harus berani professional dan transparan.


*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Tanjungpura 2002