Duk!
Oleh
Laurika L.S
Duk!!!! Rina memandang penabraknya dengan wajah suram. Siapa lagi dengan ikhlas hampir setiap hari menabraknya kecuali Tiara, bahkan tidak melihat orang yang ditabraknya. Pertama Rina menganggap hal itu biasa saja, mungkin Tiara begitu terburu-buru hingga lupa kata maaf. Namun sikap Tiara yang selalu sinis dan berusaha menjatuhkannya dalam setiap keadaan, membuatnya merubah pendapatnya itu. Tanpa bertanya kenapa Tiara kelihatan begitu dendam padanya, Rina berkesimpulan bahwa Tiara kerasukan.
“Ra, kenapa sih kamu suka banget ngusilin dan Rina lagi. Emang kamu nggak punya kerjaan apa?” Sahut Ita sewot.
“Nggak, suka aja!” Tiara menarik kursi, duduk disebelah Ita. “Sudah berapa banyak dapat bahannya? Baru dapat sedikit.”
Ita meletakkan kembali buku yang dibacanya, “Setidaknya aku sudah mendapat tiga literature yang membahasnya. Hanya itu alasannya?”
“Yah… kalau jatuh cinta pun kita tidak perlu alasan kan?” Tiara memandang Rina yang masuk ke dalam perpustakaan, meletakkan bukunya di salah satu sudut pojok, lalu pergi. “Eh..tunggu bentar Ta.”. “Ehm…” guman Ita
Tiara mengambil lem besi dari tasnya, diam-diam mendekati meja Rina. Dengan cepat diolesnya lem besi ke beberapa halaman buku tulisnya, kemudian pergi.
“Dari mana?” Ita terus menulis di buku catatannya. “Biasa, toilet.”
Sesudah mengambil beberapa buku dan mendapatkan halaman bahan yang dicarinya, Rina kembali ke mejanya. Dia menggaris kalimat-kalimat penting lalu mengambil buku catatannya. “Loh…?” desaunya kaget ketika melihat buku catatannya tidak bisa terbuka, “..kok gini?”
Dengan kalut Rina berusaha mencongkel halaman buku catatannya dan berakhir dengan gumpalan kertas yang tidak bisa digunakan.
“Ngapain? Gimana tugas kita?” Rina memandang Ian, teman sekelompoknya, mengambil kursi di sebelahnya. Rina menunjukkan gumpalan kertas di tangannya. “Ini.”
“Jangan becanda, lusa udah mau dikumpulin.”
“ Ya iya, ini hasil tugas kita.” Rina menunjukkan sampul buku catatannya. “Kemaren sudah rapi, tapi entah kenapa malah jadi tertempel kayak gini.”
Ian memandang Tiara yang duduk agak jauh dari situ, “Kayaknya aku tahu kenapa!”
Rina ikut-ikutan memandang Tiara, “Ya udahlah, nanti ku fotokofi. Langsung aja nyusun sekalian ngetik, oke? Sabar itu subur, subur itu kaya, kaya itu makmur, makmur itu….”
“Emang pohon, subur? Ya udah, jadi kamu kan nyelesaiin? Nih, tinggal kamu gabungin.” Ian menyerahkan flash disknya. “Atau nanti sore aku bantu kamu ngetik, gimana?”
“Nanti sore aku ke kampus bawa laptop dan ngandalin hotspot kampus. Temanin ya.”
”Oke deh.”
Kampus di malam ini angker dan dingin. Tiara mengencangkan jaketnya, sembari menggerutu. “Ita jelek! Kok belum datang sih?! Kenapa juga proposal nyebelin itu pake ketinggalan di kelas? Ergh…!” Hp-nya bergetar. Satu pesan diterima, dari Ita.
Sr bgt g bs nmin, mt0r dpk k2 blm plg2.
Super duper SORRY!!
Ih!!! runtuknya dalam hati, kalau tau begini udah aku ambil dari tadi.
“Ian, aku fotokofi dulu, kutinggal sendiri di kelas ngak pa-pa kan? Mungkin bisa sejam loh, banyak banget nih soalnya.” Rina memasukkan satu demi satu buku ke dalam tasnya.
“Ya, kalau nggak bagi tugas, makin larut nyarinya. Mo kuantar ke depan?”
“Nggak, di depan masih ramai. Aku pergi dulu ya. Met mencari.” “Yok!”
Setelah tidak mendengar suara langkah kaki Rina, Ian menguap lebar dan menekuk badannya kesana kemari. Ke toilet dulu ah, setelah menutup pintu kelas, Ian berjalan ke toilet.
Tap tap. Rina? Pikirnya ketika berada di dalam toilet, apa dia ketinggalan buku?
Setelah selesai, Ian melihat empunya langkah tersebut. Loh, Tiara? Ada apa dia ke kampus malam-malam begini? Ian mengikuti langkah Tiara, hingga akhirnya Tiara masuk ke ruang kelas yang ada di lantai dua. Diam-diam, Ian menutup pintu sekre dan lari. Rasain, siapa suruh ngelem buku tugas kami!
Blam!
Tiara terlonjak kaget mendengar pintu dibelakangnya tertutup. Duh, ada angin apa, pikirnya heran. Cepat-cepat diambil proposalnya dan berjalan ke arah pintu.
Pintu tidak bergeming sedikit pun….
“Duh! Buka dong!” Tiara mulai panik, menarik kuat kenop pintu. Namun berapa lama, pintu tetap tak terbuka. Tiara memandang jam tangannya. Jam tujuh lewat dua puluh menit. Akhirnya Tiara memutuskan untuk menunggu.
10 menit, 20 menit, 30 menit…..argh! bosan!
Dengan tidak sabaran, Tiara membuka jendela kelas. Pohon ketapang yang menjulang membuatnya mendapat ide.
Dengan cepat Tiara membuka jendela, melangkahkan kakinya keluar, memastikan apakah dia bisa mencapai salah satu dahan. Mungkin bisa.
Setelah memastikan tijakkannya, Tiara menghitung dalam hati, satu…dua….tiga! hup! Tiara dengan sukses bergelantungan di salah satu dahannya.
“Gimana Ian?” Ian memandang Rina, yang memegang dua buah kantong plastic besar. “Banyak juga ya. Taruh aja di laci meja dosen, besok tinggal kita bagikan. Rin temanin bentar yok. Tugas udah aku susun, tinggal di print.” Ian cepat-cepat membereskan laptopnya, dan memasukan fotokofian ke dalam laci. “Ayo.”
“Kemana?” “Ke ruang 14.”
Rina mengikuti langkah Ian ke ruang 14, tapi sampai disana Rina tidak melihat apapun. “Emang ada apaan sih?”
Ian terlihat kebingungan, “Masa nggak ada sih? Tadi aku ngunciin Tiara disini.”
“Ngunciin? Kok bisa?”
“Kan ruang kelas ini kenop pintunya rusak, nggak bisa dibuka dari dalam.”
Rina memandang ke arah jendela yang terbuka, menduga Tiara keluar dari situ, “Tiara!!”, dan benar, Tiara bergelantungan di salah satu dahan pohon di belakang kelas.
“Tunggu, kami segera ke bawah!”
“Coba aku tadi tunggu satu menit lebih lama,” dumel Tiara sambil menggerakkan tangannya. Belum satu menit bergerak, Tiara merasa ada sesuatu di atas tangannya.
“Tikus!!” terkejut bukan main, tanpa sadar Tiara melepaskan tangannya.
Bruk!! “Aduh!!” jeritnya kesakitan. Kakinya terasa sakit luar biasa. “Celaka dua belas!” runtuknya berusaha berdiri, namun kakinya terasa sakit luar biasa.
“Tiara!” Rina berlari ke arahnya. “Sini!” Rina menjulurkan tangannya.
“Nggak usah, aku bisa berdiri sendiri. “ jawab Tiara angkuh. Dasar, pikir Ian, kalau saja lantai dua itu tidak dua setengah meter dari tanah, kau pasti udah koid sekarang.
Tiara langsung mencoba berdiri, namun baru berdiri sedikit, dia langsung terjatuh lagi. “Nggak bisa berdiri sendiri kan?” ejek Ian.
Tiara menelan ludahnya, wajahnya sedikit mengeras “Oke, aku minta tolong dengan sungguh-sungguh. Kurasa kakiku terkilir.” Ian menjulurkan tangannya kembali, yang langsung disambut dengan lemah oleh Tiara. “Bilang apa?” sahut Ian.
“Hah?”
“Bilang apa kepada aku dan Rina?” ulang Ian. Tiara merasa wajahnya panas, tapi dengan pasti dia berkata, “Terima kasih….dan maaf.”
Ian merasa hatinya puas sekali melihat Rina tersenyum mendengarnya.