Wujud Kepedulian Pada Akhlak Bangsa
Oleh: Dra. Fadillah, M.Pd
Menjadi manusia yang cerdas intelektual saja belum cukup, jika belum memiliki kecerdasan emosional dan spiritual seperti beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Semangat ini, telah tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, agar menjadi wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreativ, mandiri dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggungjawab. Permasalahannya mengapa adanya Undang-Undang Pornografi menimbulkan pro dan kontra?
Kata pornografi, berasal dari bahasa Yunani, porno dan grafi yang artinya karya yang cabul. Dalam UU Pornografi, Bab I pasal I, ayat 1: pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pada ayat 2: jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukkan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah dan barang cetakkan lainnya.
Jika kita cermati UU ini, isinya menyiratkan: (1)meminta warga negaranya berpakaian secara sopan, tidak memancing birahi lawan jenisnya (baik laki-laki dan perempuan), dan tidak harus berpakaian model Islami/ Arab/ Taliban. (2)malindungi kaum perempuan Indonesia dari pihak-pihak yang justru merendahkan kaum perempuan dengan dijadikan obyek yang laku dijual demi kaum laki-laki hidung belang. (3)Melindungi moral anak-anak dari bahaya pornografi dan porno aksi bukan dengan mempertontonkan tubuhnya atau bahkan melacurkan diri. (4)Bukan untuk menyeragamkan budaya, menyeragamkan dalam pakaian, atau memaksakan aturan suatu agama, melainkan untuk membuat bangsa ini menjadi tanggap terhadap terjadinya krisis akhlak di masyarakat, lebih beradap dalam era globalisasi. (5)Kehadirannya ingin mengembalikan akhlak bangsa yang mengalami krisis akibat pengaruh yang bersifat multi dimensi, yang namanya globalisasi, krisis moneter, kapitalisme, xenofilia.
Menjadi instrument pendidikan, keluarga, masyarakat dan warganegara. Jika ini semua disadari, maka menjadi manusia yang berakhlak mulia tidaklah sulit diwujudkan. Melihat pada krisis moral, para pemikir kemanusiaan bertanya-tanya apakah kita ini masih memiliki jiwa manusia atau jiwa binatang. Karena hanya pada binatang saja pelampiasan naluri seks tak mengenal aturan, yang berdampak terjadinya peningkatan penderita HIV / AIDS dalam kurun waktu 9 tahun (1987-2006) yang semula meningkat perlahan-lahan, sejak tahun 2000, peningkatannya sangat tajam. Sementara estimasi tahun 2006, jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan 169.000-216.000 orang. Data hasil surveilans sentinel Departemen Kesehatan menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi HIV positif pada sub populasi berperilaku beresiko, dikalangan penjaja sex (PS) tertinggi 22,8 %, penasun 48 % dan penghuni Lapas 68 %.
Distribusi umur penderita AIDS pada tahun 2006 memperlihatkan tingginya persentase jumlah usia muda dan jumlah usia anak. Penderita dari golongan umur 20-29 tahun mencapai 54,77 %, dan bila digabung dengan golongan sampai 49 tahun, maka angka menjadi 89,37 %. Sementara persentase anak 5 tahun ke bawah mencapai 1,22 %. Di perkirakan pada tahun 2006 sebanyak 4360 anak tertular HIV dan separuhnya telah meninggal.
Para ahli epidemi Indonesia dalam kajiannya tentang kecenderungan epidemi HIV dan AIDS memproyeksikan bila tidak ada peningkatan upaya penanggilangan yang bermakna, maka tahun 2010 jumlah kasus AIDS menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang dan pada tahun 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. ( Komisi Penanggulangan AIDS, 040107 ).
Melihat angka fantastis akibat rusaknya akhlak ini, maka pendidikan akhlak, seharusnya, cepat dilancarkan, baik pendidik di sekolah maupun keluarga yakni orang tua di rumah untuk menjelaskan pada anak-anak, dimulai dengan contoh teladan hingga interaksi dari kedekatan anak dengan orang tua. Jika anak tidak mendapat penjelasan yang tepat terutama dengan landasan agama, maka dikhawatirkan anak mencari contoh di luar rumah. Bahkan melalui media televisi, besar pengaruhnya berupa kehidupan glamour sehingga yang seharusnya tontonan menjadi tuntunan bagi anak.
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa tak perlu ada UU pornogfii. Itu benar jika masyarakat kita telah hidup mengikuti aturan. Sebagai makhluk beragama, sebenarnya agama sudah mengajarkan bagaimana cara hidup diantara sesama manusia maupun dengan sesama makhluk lainnya, ataupun di tengah keberadaan alam semesta. Hanya saja, jika keluarga tidak punya kesempatan mengajarkan nilai-nilai agama dan implementasinya atau cara hidup beragama maka yang terjadi bahwa generasi kita sudah tidak dapat membedakan yang benar-salah, baik-buruk serta indah-tak indah dipandang dari sudut beragama.
Karena itu, jika saja kita masih punya hati sebagai manusia, marilah kita bersama mensosialosasikannya dan menginternalisasikannya agar akhlak yang mulia terjaga, mulai dari diri sendiri, keluarga sendiri, dan teman-teman di lingkungan, anak didik serta masyarakat sekitar. Tulisan ini mengajak kita semua untuk berfikir menggunakan hati yang bersih, membentengi diri dengan agama yang diyakini, menjadikan diri teladan bagi anak-anak, bagi peserta didik tempat kita mengabdi.
Melihat angka fantastis akibat rusaknya akhlak ini, maka pendidikan akhlak, seharusnya, cepat dilancarkan, baik pendidik di sekolah maupun keluarga yakni orang tua di rumah untuk menjelaskan pada anak-anak, dimulai dengan contoh teladan hingga interaksi dari kedekatan anak dengan orang tua. Jika anak tidak mendapat penjelasan yang tepat terutama dengan landasan agama, maka dikhawatirkan anak mencari contoh di luar rumah. Bahkan melalui media televisi, besar pengaruhnya berupa kehidupan glamour sehingga yang seharusnya tontonan menjadi tuntunan bagi anak.
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa tak perlu ada UU pornogfii. Itu benar jika masyarakat kita telah hidup mengikuti aturan. Sebagai makhluk beragama, sebenarnya agama sudah mengajarkan bagaimana cara hidup diantara sesama manusia maupun dengan sesama makhluk lainnya, ataupun di tengah keberadaan alam semesta. Hanya saja, jika keluarga tidak punya kesempatan mengajarkan nilai-nilai agama dan implementasinya atau cara hidup beragama maka yang terjadi bahwa generasi kita sudah tidak dapat membedakan yang benar-salah, baik-buruk serta indah-tak indah dipandang dari sudut beragama.
Karena itu, jika saja kita masih punya hati sebagai manusia, marilah kita bersama mensosialosasikannya dan menginternalisasikannya agar akhlak yang mulia terjaga, mulai dari diri sendiri, keluarga sendiri, dan teman-teman di lingkungan, anak didik serta masyarakat sekitar. Tulisan ini mengajak kita semua untuk berfikir menggunakan hati yang bersih, membentengi diri dengan agama yang diyakini, menjadikan diri teladan bagi anak-anak, bagi peserta didik tempat kita mengabdi.
Penulis:
Dosen FKIP – Untan
Saat ini sedang mengikuti
Program Doktor (S3) di UPI Bandung