Oleh Jami’at Agus Prakoso
Gerimis masih menyelimuti lintas Alianyang. Sebuah gedung bertingkat tiga, dengan tembok berwarna kuning gading, tepatnya di sebelah kiri Rumah Sakit Jiwa Pontianak, tampak lengang. Dari luar, sebuah plang bertuliskan “Wisma Sirih Theoapeutic Community Pontianak” tertancap tegak di tanah. Halamannya dihiasi dengan bunga-bunga. Di samping kanannya ada beberapa pendopo yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun kelapa. Panti rehabilitasi ini merupakan tempat dirawatnya para pecandu narkotika. “Hargai Dirimu Tentukan Pilihan Yang Sehat Jadikan Hidup Bebas dari Narkoba” begitulah bunyi semboyan yang berada tepat di atas pintu masuk gedung tersebut.
Seorang karyawan dan pasien sedang berbincang-bincang di beranda wisma itu. Bangunan yang cukup besar ini dihuni oleh para pria. Semua pasien di sini, rambutnya wajib dengan style plontos. Memasuki lebih ke dalam gedung tersebut, tampak seorang lelaki berkulit kuning langsat sedang asyik di meja kerjanya. Di atasnya tertata rapi buku-buku dan kalender. Secangkir kopi menemaninya malam itu. Ia segera beranjak dari meja kerjanya saat menyadari kedatangan Kru Miun. Mengulurkan tangan sambil tersenyum manis ia membuka perkenalan malam itu. Lelaki berumur 26 tahun ini enggan menyebutkan namanya. Sebut saja ia Satria.
“Nggak takut salaman sama saya?” ujarnya sambil mempersilakan kami duduk di kursi yang sudah berada di depan meja kerjanya. “Nanti tertular lho,” tambahnya lagi seraya tersenyum. Lelaki berbadan tegap ini tampak sehat. Siapa yang menyangka di balik tubuhnya yang segar itu terdapat virus yang mematikan. Virus itu dikenal dengan sebutan Human Immunodeficiency Virus (HIV), yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.
Hawa dingin dari hembusan AC makin menusuk ke dalam sumsum tulang. Jam di tangan sudah menunjukan pukul 19.30. Satria segera memulai pembicaraan tentang kisah hidupnya. Menjadi salah satu dari jutaan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) bukanlah keinginannya. Satria tak pernah menyangka virus yang mematikan ini masuk ke dalam tubuhnya. Sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satria sudah dikenal para tetangga dan teman-temanya sebagai anak yang nakal. Dari bolos sekolah, bergadang, sampai menggunakan narkotika pernah ia lakoni. Bahkan saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), pria kelahiran 1980 ini sudah sering “jajan” di luar tanpa menggunakan alat kontrasepsi.
Pria yang hobi mendengarkan musik ini, sering menggunakan jarum suntik secara bergantian bersama teman-temannya. Sesekali ia dan teman-temannya menggosokkan jarum suntiknya ke tempayan (tempat menyimpan air), agar jarum itu menjadi tajam dan enak dipakai. Satria hanya berfikir, perbuatannya itu paling-paling hanya menimbulkan penyakit hepatitis biasa. Ia tidak berfikir bahwa pola hidup menyimpang itu akan membuat tubuhnya dihuni oleh virus yang mematikan.
Pola hidup yang beresiko ini akhirnya tercium juga oleh kedua orangtuanya. Satria hanya dihadapkan pada dua pilihan, masuk panti rehabilitasi atau ia mesti mendekam di bui selama bertahun-tahun. Akibat dari kekhawatiran keluarganya, Satria wajib memeriksakan diri ke Voluentarry Counseling and Testing (VCT).
Tahun 2005 silam ia divonis positif HIV. Perasaan sedih, menyesal dan ketakutan bercampur aduk menjadi satu dalam hatinya. Hampir setahun Satria menyembunyikan hasil tes tersebut, lantaran takut dan tidak ingin dikucilkan. Ketakutan yang selalu menghantui dirinya membuat ia tak mampu menanggungnya seorang diri. Tangisan mewarnai kediaman Satria saat keluarganya mulai mengetahui bahwa ia divonis positif HIV oleh dokter.
Hidup di panti rehabilitasi menjadi pilihannya. Tahun 2006 Satria menjadi salah satu penghuni Wisma Sirih. Awalnya ia mengira hidup di sini sangatlah bebas ketimbang di rumahnya sendiri. Ternyata kehidupan di Wisma tak senyaman yang ia bayangkan.
“Pukul 3 subuh kami sudah harus bangun untuk melaksanakan shalat tahajud dan kemudian wajib membaca Al-Quran hingga waktu subuh tiba. Di sini rata-rata penghuninya muslim,” jelasnya sambil mengotak atik handphone Nokianya yang sedari tadi berdering. Jika melanggar, maka mereka akan mendapatkan hukuman membersihkan ruangan yang ada dan dihadiahi siraman air. Siang harinya sekitar pukul 10.00 mereka mendapatkan penyuluhan tentang dampak penggunaan narkotika, salah satunya HIV/AIDS.
Perhatian orang tua yang berlebihan membuat Satria menjadi risih. Orang tuanya selalu khawatir dengan kondisi Satria yang tidak boleh capek. Virus di dalam tubuhnya akan cepat bekerja jika kondisi tubuh Satria dalam keadaan lemah.
Dulu Satria takut menjalani hidup. Takut dicemooh oleh orang banyak dan dijauhi dari keluarga serta teman-temannya. Tapi setelah ia masuk di Wisma Sirih dan bertemu dengan para aktivis-aktivis AIDS serta teman yang (bernasib sama) menderita HIV, perasaan itu mulai hilang sedikit demi sedikit. Semangat untuk hidup mulai muncul saat ia mendapatkan motivasi dari para aktivis tersebut.
Wajah Satria berubah sendu saat mengingat peristiwa sedih yang menimpanya. Ia sadar, memperoleh predikat menjadi seorang ODHA akan banyak menuai ketakutan dan anggapan buruk dari orang lain. Kala itu ia sedang sakit gigi. Ia mencoba untuk memeriksakannya ke dokter gigi yang berada di RS Jiwa sebelah Wisma Sirih. Malangnya ia mendapatkan respon kurang baik dari sang dokter. “Apakah anda positif HIV?” ujar sang dokter dengan wajah ketakutan. “Kalau iya kenapa Dok? Apa Dokter takut sama saya?” jawab Satria lantang.
“Bukankah seorang dokter harus memberikan motivasi pada pasiennya, bukan malah menjauhi,” jelas Satria dengan wajahnya yang mulai memerah. Salah satu aktivis HIV/AIDS, Rizal Alkadrie mengatakan bahwa HIV/AIDS ditularkan melalui jarum suntik (Injekting Drug Use atau IDU’S), berhubungan seks tanpa alat pengaman, transfusi darah dan air susu ibu. “Seorang memang bisa tertular dengan bersentuhan, tapi dengan catatan tangan kedua orang itu sama-sama dalam keadaan luka,” jelas Rizal saat ditemui di tempat terpisah.
Menurut Muhammad Asroruddin, dosen Fakultas Kedokteran Untan, secara psikis seorang ODHA yang baru mengetahui dirinya terinfeksi HIV, akan merasa sangat takut dan merasa dirinya tidak berguna. “Sebetulnya mereka punya hak hidup namun dengan kondisi kejiwaan yang sangat rapuh, mereka sangat membutuhkan motivasi dari orang di sekitar mereka,” ungkap dokter yang berusia 26 tahun ini.
Lebih lanjut dokter lulusan Universitas Indonesia (UI) ini menyatakan secara umum masyarakat merasa takut jika di lingkungannya terdapat ODHA. Hal ini disebabkan karena masyarakat menganggap orang yang terinfeksi HIV adalah orang yang tidak benar (pergaulan bebas-red).
Sebulan sekali Satria mesti mengontrolkan dirinya ke dokter yang menangani penyakitnya ini. Virus dalam tubuhnya akan cepat muncul kembali jika ia tidak meminum obat untuk melakukan terapi Antiretrovial (ART). Pria yang kini bekerja di Global Fund ini tetap bersemangat untuk hidup. Sekarang ia tidak merasa sendiri menjalani hidup. “Jangan takut untuk ngejalani hidup jika kamu adalah ODHA. Kamu tidak sendirian, banyak orang yang masih membutuhkan tenagamu. Cobalah kembangkan bakatmu untuk hidup normal (tidak berpola hidup beresiko-red),” tambahnya saat mengakhiri pembicaraan dengan Kru Miun.[]