Tuesday, May 22, 2007

Hidupku Bersama HIV

Oleh Jami’at Agus Prakoso

Geri­mis masih me­nye­limu­ti lintas Ali­anyang. Sebu­ah gedung ber­ting­kat tiga, de­ng­an tembok ber­war­na ku­ning gading, te­patnya di sebe­lah kiri Rumah Sakit Ji­wa Pon­ti­anak, tampak lengang. Dari lu­ar, sebuah plang bertulis­kan “Wis­ma Sirih Theoa­peu­tic Community Pon­tianak” ter­tancap tegak di tanah. Ha­la­ma­nnya dihiasi dengan bu­nga-bu­nga. Di samping ka­nan­­nya ada be­be­rapa pendo­po yang terbuat dari ka­yu dan beratapkan daun kelapa. Pan­ti re­ha­bilitasi ini merupakan tem­pat di­ra­watnya para pe­can­du narkotika. “Har­gai Di­ri­mu Tentukan Pilihan Ya­ng Se­hat Jadikan Hidup Bebas da­ri Nar­koba” begitulah bu­nyi semboyan ya­ng berada te­pat di atas pintu masuk ge­dung tersebut.

Seorang karyawan dan pa­sien se­dang berbin­cang-bin­cang di beranda wis­ma itu. Ba­ngunan yang cukup be­sar­ ini dihuni oleh para pria. Se­mua pa­sien di sini, ram­but­nya wajib de­ngan style plon­tos. Memasuki lebih ke da­lam ge­dung tersebut, tampak se­orang lelaki berkulit kuning lang­sat sedang asyik di meja ker­ja­nya. Di atas­nya tertata ra­pi buku-buku dan kalender. Se­cangkir kopi menema­ninya ma­lam itu. Ia segera beranjak da­­ri meja kerjanya saat me­nya­­dari ke­da­tangan Kru Mi­un. Mengulurkan ta­ngan sam­bil tersenyum manis ia mem­­buka perkenalan malam itu. Lelaki ber­umur 26 tahun ini enggan menyebut­kan na­ma­­nya. Sebut saja ia Satria.

“Nggak takut salaman sa­ma sa­ya?” ujarnya sambil mem­persilakan ka­mi duduk di kursi yang sudah bera­da di de­pan meja kerjanya. “Nanti ter­­tu­lar lho,” tambahnya lagi se­raya ter­sen­yum. Lelaki ber­ba­dan tegap ini tam­­pak sehat. Si­apa yang menyangka di balik­ tubuhnya yang segar itu ter­da­pat virus yang mema­ti­kan. Virus itu di­ke­nal dengan se­butan Human Immu­nodefi­ci­en­cy Virus (HIV), yang menye­rang sistem kekebalan tubuh ma­nusia.

Hawa dingin dari hem­bu­san AC ma­kin menu­suk ke da­lam sumsum tulang. Jam di ta­ngan sudah menun­jukan pu­kul 19.30. Satria segera me­mu­­lai pembicaraan tentang ki­sah hi­dup­nya. Menjadi sa­lah satu dari juta­an Orang De­ngan HIV AIDS (ODHA) bu­­kan­lah keinginannya. Sat­ria tak per­nah menyangka vi­rus yang mema­ti­kan ini ma­suk ke dalam tubuhnya. Se­jak Se­kolah Menengah Pertama (SMP) Satria sudah dikenal pa­ra teta­ng­ga dan teman-te­manya sebagai anak yang na­kal. Dari bolos sekolah, ber­ga­dang, sampai menggunakan nar­­kotika pernah ia lakoni. Bah­kan saat duduk di bangku Sekolah Mene­ng­ah Atas (SMA), pria kelahiran 1980 ini su­dah sering “jajan” di luar tan­pa me­ng­gunakan alat kon­tra­sepsi.

Pria yang hobi mende­ngar­kan mu­si­k ini, sering meng­gunakan jarum sun­tik se­cara bergantian bersama te­man-temannya. Sesekali ia dan tema­n-temannya meng­go­sokkan jarum sun­tiknya ke tem­payan (tempat men­yim­pan air), agar jarum itu menjadi ta­jam dan enak dipakai. Satria ha­nya ber­fi­kir, perbuatannya itu paling-pa­ling hanya me­nim­bulkan penyakit he­pa­titis bi­asa. Ia tidak berfikir bahwa po­­la hidup menyimpang itu akan mem­buat tubuhnya di­hu­ni oleh virus ya­ng mema­ti­kan.

Pola hidup yang beresiko ini ak­hirnya tercium juga oleh ke­dua ora­ngtuanya. Satria ha­nya diha­dap­kan pa­da dua pilihan, masuk panti reha­bi­li­tasi atau ia mesti mendekam di bui se­la­ma bertahun-ta­hun. Akibat dari kekha­wati­ran keluarganya, Satria wajib me­meriksakan diri ke Voluen­ta­rry Counseling and Testing (VCT).

Tahun 2005 silam ia divo­nis posi­tif HIV. Perasaan se­dih, menyesal dan ke­ta­kutan ber­campur aduk menjadi sa­tu dalam hatinya. Hampir se­tahun Sat­ria menyembu­nyi­kan hasil tes ter­se­but, lanta­ran takut dan tidak ingin di­ku­cil­kan. Ketakutan yang se­lalu me­ng­han­tui dirinya mem­­buat ia tak mam­pu me­nang­gungnya seorang di­ri. Ta­ngisan mewarnai kedia­man Sat­ria saat keluarganya mu­lai menge­tahui bahwa ia di­vonis positif HIV oleh dok­ter.

Hidup di panti rehabilita­si menja­di pilihannya. Tahun 2006 Satria men­jadi salah satu penghuni Wisma Si­rih. Awal­nya ia mengira hidup di sini sa­ngatlah bebas ketimbang di ru­­mah­nya sendiri. Ternyata ke­hidupan di Wisma tak se­nya­man yang ia baya­ngkan.

“Pukul 3 subuh kami su­dah harus bangun untuk me­lak­sanakan shalat ta­ha­jud dan kemudian wajib mem­ba­ca Al-Quran hingga waktu su­buh ti­ba. Di sini rata-rata peng­­huninya mus­lim,” jelas­nya sambil mengotak atik handphone Nokianya yang se­da­ri­ tadi berdering. Jika me­lang­gar, ma­ka mereka akan men­­dapatkan huku­man mem­­bersihkan ruangan yang ada dan dihadiahi siraman air. Siang ha­ri­nya sekitar pu­kul 10.00 mereka men­dapat­kan penyuluhan tentang dam­­­pak penggunaan narko­tika, salah sa­tu­nya HIV/AIDS.

Perhatian orang tua yang ber­le­bihan membuat Satria men­jadi risih. Ora­ng tuanya se­lalu khawatir dengan kon­di­si Satria yang tidak boleh ca­pek. Vi­rus di dalam tu­buh­nya akan cepat be­ker­ja jika kon­disi tubuh Satria da­lam ke­a­daan lemah.

Dulu Satria takut men­ja­lani hidup. Ta­kut dicemooh o­leh orang banyak dan dijauhi da­ri keluarga serta teman-te­man­nya. Tapi setelah ia ma­suk di Wis­ma Sirih dan ber­te­mu dengan pa­ra aktivis-akti­vis AIDS serta teman yang (ber­nasib sama) menderita HIV, pe­ra­saan itu mulai hi­lang sedikit demi se­di­kit. Se­ma­ngat untuk hidup mulai mun­­cul saat ia mendapatkan mo­tivasi da­ri para aktivis ter­sebut.

Wajah Satria berubah sen­du saat me­ng­ingat peristiwa se­dih yang me­nim­panya. Ia sa­dar, memperoleh pre­di­kat men­jadi seorang ODHA akan ba­­n­yak menuai ketakutan dan angga­pan buruk dari orang lain. Kala itu ia se­da­ng sa­kit gigi. Ia mencoba untuk me­­me­rik­sakannya ke dokter gigi yang be­ra­da di RS Jiwa se­be­lah Wisma Si­rih. Ma­lang­nya ia mendapatkan res­pon ku­rang baik dari sang dokter. “Apa­kah anda positif HIV?” u­jar sang dok­ter dengan wa­jah ketakutan. “Ka­lau iya ke­na­pa Dok? Apa Dokter takut sa­­ma saya?” jawab Satria lan­tang.

“Bu­kan­kah seorang dok­ter harus mem­be­rikan mo­ti­va­si pada pasien­nya, bukan ma­lah menjauhi,” jelas Sat­ria de­ngan wajahnya yang mulai me­­me­rah. Salah satu ak­ti­vis HIV/AIDS, Ri­zal Alkadrie me­ngatakan bahwa HIV/AI­DS ditularkan melalui jarum sun­­tik (Injekting Drug Use atau IDU’S), ber­hu­bungan seks tan­pa alat penga­man, trans­fusi darah dan air susu ibu. “S­eorang memang bisa ter­tu­lar deng­an bersen­tuhan, tapi dengan catatan ta­ng­an kedua orang itu sama-sama da­lam keadaan luka,” jelas Rizal sa­at di­te­mui di tempat terpisah.

Menurut Muhammad As­ro­rud­­din, dosen Fa­kultas Ke­dok­teran Untan, se­cara psikis se­orang ODHA yang ba­ru me­ngetahui dirinya terinfeksi HIV, aka­n merasa sangat ta­kut dan merasa di­rinya tidak ber­guna. “Sebetulnya me­reka pu­­nya hak hidup namun de­ng­­an kondisi kejiwaan yang sa­ngat ra­puh, mereka sangat mem­butuhkan mo­ti­vasi dari orang di sekitar mereka,” ung­­kap dokter yang berusia 26 tahun ini.

Lebih lanjut dokter lulu­san Uni­ver­sitas Indo­nesia (UI) ini menya­takan secara u­mum masyarakat mera­sa ta­kut jika di lingkungannya ter­da­pat OD­HA. Hal ini dise­bab­kan karena masya­rakat mengang­gap orang yang ter­infeksi HIV adalah orang yang ti­dak benar (pergaulan bebas-red).

Sebulan sekali Satria mesti meng­on­trolkan dirinya ke dok­ter yang me­na­ngani pe­nya­kitnya ini. Virus dalam tu­buh­nya akan cepat muncul kem­bali ji­ka ia tidak me­mi­num obat untuk me­la­kukan te­rapi Antiretrovial (ART). Pria yang kini bekerja di Glo­bal Fund ini tetap bersema­ngat untuk hidup. Se­ka­rang ia tidak merasa sendiri men­ja­­lani hidup. “Jangan takut un­tuk ngeja­lani hidup jika ka­mu adalah ODHA. Kamu ti­dak sendirian, banyak o­rang yang masih membutuhkan te­na­gamu. Cobalah kembang­kan bakat­mu untuk hidup nor­mal (tidak berpo­la hidup be­resiko-red),” tambahnya sa­at mengakhiri pembicaraan de­ngan Kru Miun.[]