Tuesday, May 22, 2007

Redup-Redam Untan Press


Oleh Sri Pujiani


Untan sejak 2002 lalu telah memi­liki badan pe­ner­bitan dengan nama Un­tan Press. Lima tahun perjalanan­nya ternyata bukan jaminan berkem­bang­nya wa­dah bagi para civitas akademika khususnya dosen untuk menerbitkan hasil penelitian atau tulisan menjadi buku, jurnal atau karya ilmiah. Ironis­nya, keberadaan badan penerbit yang diyakini mampu meningkatkan citra Perguruan tinggi (PT) sekaligus me­na­m­bah
rasa keba­ng­gaan bagi si penulis pada kenyata­annya malah tidak diketahui sebagi­an dosen di Untan. Benarkah, redup­nya Untan Press karena kegagalan dalam pe­ngelolaan?

Sebuah fakultas di Untan di suatu pagi. Tim Miun sengaja dikerahkan guna me­nye­barkan kuesioner di tiap fakul­tas. Pagi-pagi sekali polester telah men­cari responden. Jajak penda­pat yang diang­kat dengan tema mene­lu­suri jejak Untan Press ini dikhusus­kan untuk para dosen di Untan. Begitu tar­­get didapat, kertas pun diserahkan. Setelah sebe­lum­nya dije­las­kan maksud kedatangan Miun. Do­sen tersebut sedikit mengerutkan dahi membaca isi da­­ri kertas tersebut. Dengan wajah penuh tanya ia berkata “Untan Press itu apa?.”

Bisa dibilang sebagian besar dosen yang menjadi res­ponden menanyakan hal sama. Memang, feno­me­na ini terjadi di Untan. Setelah berdiri sejak lima ta­­hun lalu, nama Untan Press ternyata masih asing sa­­ja bagi seba­gi­an dosen di Untan. Padahal, semen­jak dilahirkan tanggal 6 Februari 2002, Untan Press punya peran penting. Lahir dari SK rektor No.222/J22/2002 dan sebagai penanggungjawab teknis ada di bawah naungan Pembantu Rektor IV. Hing­ga sekarang badan penerbit ini masih diketuai oleh Ah­mad Tohardi. Menurut Abdul Hamid yang sem­pat menjabat Purek IV periode1999-2003, berdirinya Un­tan Press karena perguruan tinggi dipandang perlu memiliki badan penerbit sendiri.

Setahun kemudian, tepatnya pada 2003, Untan Press mendapatkan bantuan dana dari Ford Foun­dation yang bekerjasama dengan Ikatan Penerbit In­do­­nesia (IKAPI). Dari hasil kerjasama tersebut, terce­tuslah prog­ram pustaka regional Pontianak yang ber­tu­juan memberikan subsidi dana bagi be­be­rapa badan penerbit di Pontianak. Selain Untan Press, Stain Press dan Fahruna Bahagia juga mem­peroleh kucuran dana. Lewat kerjasama ini, Untan Press berhasil menerbitkan 4 buku antara lain “Pot­ret Pengusaha Etnis Cina di Kalbar” (Ahmad To­hardi),
“Syakh Ahmad Khatib Sambas” (Erwin Mahrus, Rosadi Jamani, Edy Kusnan Hadi), “Asal Mu­la Kumang” (Paternus Hanye) serta “Awal Ciptaan dan Sistem Perladangan” (Edy Kiang).
Diakui Abdul Hamid saat itu Untan Press mi­nim­ penulis. “Tapi karena kita mendapatkan dana, ja­di tetap harus kita hasilkan terbitan meskipun pe­nu­lisnya sebagian meru­pa­kan peng­urus Untan Press sendi­ri,” ungkapnya.

Sekretaris Untan Press, Edy Kiang mengatakan ti­dak mengetahui penye­bab minimnya penulis yang ingin karyanya diterbitkan, padahal sejak ber­diri sudah melakukan sosialisasi ke fakultas-fakultas.

Namun, pernyataan Edy ditampik sebagian do­sen yang menja­di res­ponden pada poling yang di­se­­bar. Sebagian besar dosen tersebut men­yatakan ka­lau ketidaktahuan mereka dikarenakan Untan Press tidak me­lakukan publikasi dan sosia­li­sasi (Ba­ca: Hasil Jajak Pendapat “Menguak Keberadaan Un­tan Press”).

Masih dari keterangan Edy ken­dala lain adalah ti­dak adanya alokasi dana dari Untan. Meskipun da­lam SK yang ditandatangani Purnamawati (rek­tor pada masa itu-red) disebutkan kalau biaya yang di­ke­luarkan Untan Press dibebankan kepada ang­garan Untan. Tetapi itu hanyalah ‘hitam diatas pu­tih’ yang realisasinya tidak pernah ada dari awal ber­diri sampai saat ini.

Kondisi Untan Press makin kabur setelah berak­hirnya bantuan dana penerbitan Ford Foun­dation. Ru­pa­­nya buku berjudul “Televisi Daerah Diantara Him­pitan Kapitalisme Tele­visi” karya Redatin Par­wadi, meru­pakan buku terakhir menjelang mati su­ri­nya Untan Press. Buku ini terbit pada 2004 secara swadana. “Saat itu saya mencari sendiri sponsor un­tuk buku itu dan Pemda bersedia mem­bantu. Saya pikir Untan Press sudah seharus­nya dikemba­ng­kan karena badan penerbit meru­pa­kan citra bagi Perguruan Tinggi. Saya sangat me­nyayangkan jika do­sen Untan harus menerbitkan buku di luar padahal di sini (Untan-red) ada,” kata dosen Fisi­pol Untan ini.

Manajemen Untan Press
Sejak berdiri belum ada buku yang murni dike­luarkan Untan Press sen­­­diri, mulai dari dana hing­ga adminis­tr­a­­sinya. Saat men­dapat hibah dari Ford Fo­un­dation, Untan Press hanya mengurus masalah ad­mi­nistrasi, per­mintaan ijin ISBN dan setting bu­ku. Sama halnya saat menerbitkan buku terakhir kar­­ya Redatin Parwadi. Menurut Edy Kiang, hal ter­sebut terjadi karena Untan Press memang tidak me­mi­liki dana penerbitan. Padahal, dana itu yang nan­tinya digunakan sebagai biaya produksi, fee pe­nu­lis serta administrasi pener­bitan. Hingga saat ini, pihaknya masih mencari terobosan baru, salah sa­tu­nya belajar dari penerbit-penerbit lain yang su­dah cukup dikenal ma­sya­­ra­kat.

Untan Press sendiri belum memili­ki prosedur for­mil bagi penulis yang mau menerbitkan tulisan atau hasil penelitiannya. Dari penulis yang pernah menerbitkan buku disana, ada beberapa yang men­ye­rahkan hasil tulisan yang siap cetak namun ada ju­ga yang menyerahkan peng­editan­nya kepada Un­tan Press.

Si penulis juga mencari atau me­nge­luarkan biaya penerbitan sendiri untuk bukunya. “Semen­ta­ra ini kita belum mempunyai prosedur yang for­mil, dari buku yang diterbitkan, biasanya kita hanya me­min­ta 50 exemplar untuk dikirim ke perpusta­kaan nasional maupun perpustakaan daerah yang di­wa­jib­kan bagi setiap buku yang sudah diter­bitkan,” ujar Edy Kiang sebagai perwakilan dari Ah­mad Tohardi selaku ketua Untan Press yang se­dang melanjutkan studi di Yogyakarta.

Tiap buku yang diterbitkan, jum­lah­nya diatas 300 eksemplar karena jika jumlahnya dibawah itu, biayanya akan jauh lebih besar. Karena biaya yang di­gu­nakan Untan Press selalu didapat dari ban­tuan pihak ketiga sehingga untuk fee penulis berda­sar­kan kesepakatan penulis dengan pihak ketiga.

Mengenai belum adanya prosedur formil dalam ba­dan penerbit ini, dikatakan Purek IV, Alamsyah ka­re­na pengurusnya kurang berpengalaman me­nge­lola suatu badan penerbit. “Ini semakin mem­buat Untan Press tidak berkembang,” jawab­nya.

Anggota IKAPI Kalbar Yang Va­kum
Keanggotaan Untan Press dalam Ikatan Penerbit In­do­nesia (IKAPI) terhitung sejak 1 Maret 2003 dan su­dah diperpanjang pada tahun 2006 lalu hingga ta­hun 2010 mendatang. Masih ada 6 penerbit lain­nya yakni Fahruna Bahagia, Stain Press, Sa­mudra Mas, Insan Cita, Romeo Grafi­ka dan Kami yang ter­ga­bung dalam kumpulan badan penerbit yang dike­tuai Uray Husna Asmara ini.

Sebelum menjadi anggota IKAPI Untan Press te­lah menerbitkan 3 buku antara lain Setetes Embun Pen­ye­juk Jagad merupakan kerjasama dengan Ya­ya­san Mujahidin Pontianak (Syafa­rudin Usman MHD, Muhamad Nur Hasan, Nur Iskandar Ha­san), Djam­pea kerjasama dengan Dewan Keseni­an Kal­bar (M Yanis), dan sejarah Universitas Tanjung­pu­ra (Ahmad Tohardi, Edy Kiang). Namun setelah buku terakhir yang diterbitkan pada tahun 2004 me­ngenai Televisi Daerah Diantara Himpitan Kapi­talisme Tele­visi, Untan Press semakin tak terde­ngar la­gi. “Saya juga tidak tahu kenapa, apa mungkin so­sia­lisai ku­rang atau dana dari univeris­tas yang ti­dak ada,” ungkap Uray.

Sebagai ketua IKAPI dirinya selalu mengingat­kan para pengelola Untan Press akan kevakuman­nya namun dari pihak Untan Press menjawab me­mang belum ada tulisan yang masuk. Di dalam ke­ang­gotaan IKAPI, Untan Press termasuk yang vakum dalam menerbitkan buku dibanding pener­bit lainnya.

Ini sangat disayangkannya pada­hal penerbit di sua­tu perguruan tinggi dapat membawa nama baik di te­ngah lembaga pendidikan lainnya. Namun tak ban­yak yang dapat dilakukannya karena tumbuh kem­bangnya penerbit itu tergantung dari penerbit­nya sendi­ri. “Bagi penerbit yang vakum juga tidak ada sanksi namun akan sangat disayangkan jika da­lam universitas kita yang telah lama memiliki pe­ner­bit sendiri tapi tidak aktif,” ujar Uray yang per­nah menjadi pimpinan ST­KIP.

Kurang Perhatian Universitas ?
Pembantu Rektor IV, Alamsyah mengungkap­kan universitas memang tidak memiliki dana untuk alo­kasi penerbit Untan Press. “Kami sudah berupa­ya tetapi dana yang kita miliki memang terbatas,” ujar­nya. Ia malah menyetujui jika dosen Untan me­ner­­bitkan tulisannya di luar Untan karena penerbit sendiri terkendala pada masalah dana. “Malah ba­gus dosen-dosen kita ke luar (penerbit-red) untuk menerbitkan tulisannya karena di sini tidak memi­liki dana,” anjur­nya.

Sementara Abdul Hamid menilai untuk dana penerbitan sebenarnya tergantung pada pemimpin­nya. “Jika pemimpin komitmen untuk mengem­bangkan suatu badan penerbit maka pasti menyi­sih­kan dana untuk me­nun­juk­kannya,” ujarnya.

Ketua IKAPI Kalbar, Uray Husna Asmara meng­ung­kapkan hal yang sama “Saya melihat dari rek­tor sampai Purek IV tidak rajin menulis karena ke­si­bu­kan masing-masing sehingga kurang per­hatian ter­ha­dap penerbit.” Kalau seorang pim­pi­nan me­ngetahui pentingnya penerbitan buku se­ha­rus­nya dia­loksikan dana. Sarannya lagi dalam sua­tu badan penerbit diharap­kan para pengelo­la­nya ha­rus orang yang mempunyai kemampuan me­ng­edit, bu­kan hanya mengurus adminis­trasi saja.

Usulan juga disampaikan Redatin yang berha­rap demi kemajuan Untan Press perlu ditunjang dua hal, perta­ma biaya penerbitan dan kedua pe­ng­e­lo­lanya yang aktif. Pengelola aktif disini juga ha­­rus memiliki nilai kejuangan, motivasi dan krea­tivitas yang tinggi serta mempunyai waktu untuk bi­sa sepenuhnya terjun dalam penerbitan. “Sangat di­sa­yangkan kenapa rektor tidak peduli, padahal Un­tan Press kalau dikembangkan dapat mening­kat­kan citra Untan di mata universitas lain.”

Chairil Effendi sebagai rektor terpilih yang be­be­­ra­pa waktu lalu sempat menerbitkan delapan bu­ku le­wat jasa STAIN Press mengatakan bahwa ia akan mem­pertanyakan kembali keinginan pe­ngurus se­ka­rang untuk mengelola Untan Press. “Ji­ka mereka ti­dak memiliki keinginan untuk me­ngem­bangkan sa­ya juga tidak akan memaksakan. Sa­ya akan mena­war­kan kepada yang lain untuk mengurus,” jan­jinya.

Berkaca Dari Badan Penerbit Lain
Salah satu penerbit di Pontianak yang jasanya cu­kup sering digunakan oleh dosen Untan adalah STAIN Press. Padahal lahirnya STAIN Press ber­sa­maan dengan Untan Press. Kesamaan lain­nya, STAIN Press pun tidak mendapat alokasi dana da­ri lem­ba­ga (STAIN). Hal ini lantaran secara struk­tural ba­dan penerbit tersebut tidak berada di ba­wah na­ung­­an STAIN. Alasan tetap memakai na­ma STAIN di­ja­wab Hermansyah, koordinator pe­nerbitan STAIN Press sebagai keinginan tetap men­jadi bagi­an dari STAIN.

Akan tetapi, hal itu tidak menyu­rut­kan niat pa­ra pe­ngelolanya untuk mengembangkan pe­­ner­­bit tersebut. Hanya dengan tiga orang penge­lola, hi­ng­ga kini STAIN Press sudah menerbitkan 39 bu­ku, dua diantaranya pernah dicetak di Mala­y­sia dan Brunei Darussalam. “Alham­dulil­lah kita ha­­n­ya mengandalkan semangat untuk me­ngem­bang­kan penerbit ini dan mencoba memfasilita­si me­reka ya­ng ingin menerbitkan buku,” ujar Her­mansyah.

Meski begitu, STAIN Press pernah menerbitkan bu­ku mulai dari admi­nis­trasi sampai biaya pener­bitan dikeluarkannya sendiri. Ini dilakukan terha­dap hasil-hasil seminar yang dilakukan di STAIN ya­ng sudah diseleksi. Setelah terbit, buku tersebut di­jual dan hasilnya akan digunakan lagi untuk pe­ner­bitan selanjutnya. Namun karena dana dari ha­sil pen­jua­lan buku terbatas jadi untuk penu­lis lain ya­ng ingin menerbitkan buku di sana harus meng­eluarkan biaya sendiri.
Kewenangan STAIN Press juga hanya sampai pa­da diterbitkannya buku tersebut, untuk pemasa­ran diserahkan lagi kepada penulis. STAIN Press han­ya mendapat 20-30 eksemplar untuk arsip dan pe­ng­­iriman ke perpustakaan nasional dan daerah. “Pe­nu­lis memberikan 500 ribu untuk mendapat­kan ijin ISBN dan pengiriman ke perpustakaan-per­pus­takaan,” tambahnya lagi.

Untuk jenis terbitannya STAIN Press memang le­­bih mengutamakan buku-buku yang bersifat lo­kal con­tain karena mempunyai ciri khas tersen­diri sehi­ng­ga tak mengherankan jika setiap terbitannya se­la­lu dimintakan oleh perpustakaan kongres Amerika.

Saat ini STAIN Press belum memi­liki sekretariat sen­diri sehingga masih menumpang di ruang P3M na­mun rencananya ke depan STAIN Press akan me­ng­gunakan ruang Malay Corner (sudut melayu). Ti­dak memiliki ruangan sendiri, tidak juga men­dapat bantuan dana dari lembaga tidak membuat pa­ra pengelolanya berhenti menerbitkan buku kare­na menurut Hermansyah lagi dukungan moral dari lem­ba­ga sudah sangat besar apalagi bisa memfasili­tasi penulis menerbitkan bukunya.[]