Oleh Sri Pujiani
Untan sejak 2002 lalu telah memiliki badan penerbitan dengan nama Untan Press. Lima tahun perjalanannya ternyata bukan jaminan berkembangnya wadah bagi para civitas akademika khususnya dosen untuk menerbitkan hasil penelitian atau tulisan menjadi buku, jurnal atau karya ilmiah. Ironisnya, keberadaan badan penerbit yang diyakini mampu meningkatkan citra Perguruan tinggi (PT) sekaligus menambah
Untan sejak 2002 lalu telah memiliki badan penerbitan dengan nama Untan Press. Lima tahun perjalanannya ternyata bukan jaminan berkembangnya wadah bagi para civitas akademika khususnya dosen untuk menerbitkan hasil penelitian atau tulisan menjadi buku, jurnal atau karya ilmiah. Ironisnya, keberadaan badan penerbit yang diyakini mampu meningkatkan citra Perguruan tinggi (PT) sekaligus menambah
rasa kebanggaan bagi si penulis pada kenyataannya malah tidak diketahui sebagian dosen di Untan. Benarkah, redupnya Untan Press karena kegagalan dalam pengelolaan?
Sebuah fakultas di Untan di suatu pagi. Tim Miun sengaja dikerahkan guna menyebarkan kuesioner di tiap fakultas. Pagi-pagi sekali polester telah mencari responden. Jajak pendapat yang diangkat dengan tema menelusuri jejak Untan Press ini dikhususkan untuk para dosen di Untan. Begitu target didapat, kertas pun diserahkan. Setelah sebelumnya dijelaskan maksud kedatangan Miun. Dosen tersebut sedikit mengerutkan dahi membaca isi dari kertas tersebut. Dengan wajah penuh tanya ia berkata “Untan Press itu apa?.”
Bisa dibilang sebagian besar dosen yang menjadi responden menanyakan hal sama. Memang, fenomena ini terjadi di Untan. Setelah berdiri sejak lima tahun lalu, nama Untan Press ternyata masih asing saja bagi sebagian dosen di Untan. Padahal, semenjak dilahirkan tanggal 6 Februari 2002, Untan Press punya peran penting. Lahir dari SK rektor No.222/J22/2002 dan sebagai penanggungjawab teknis ada di bawah naungan Pembantu Rektor IV. Hingga sekarang badan penerbit ini masih diketuai oleh Ahmad Tohardi. Menurut Abdul Hamid yang sempat menjabat Purek IV periode1999-2003, berdirinya Untan Press karena perguruan tinggi dipandang perlu memiliki badan penerbit sendiri.
Setahun kemudian, tepatnya pada 2003, Untan Press mendapatkan bantuan dana dari Ford Foundation yang bekerjasama dengan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Dari hasil kerjasama tersebut, tercetuslah program pustaka regional Pontianak yang bertujuan memberikan subsidi dana bagi beberapa badan penerbit di Pontianak. Selain Untan Press, Stain Press dan Fahruna Bahagia juga memperoleh kucuran dana. Lewat kerjasama ini, Untan Press berhasil menerbitkan 4 buku antara lain “Potret Pengusaha Etnis Cina di Kalbar” (Ahmad Tohardi),
“Syakh Ahmad Khatib Sambas” (Erwin Mahrus, Rosadi Jamani, Edy Kusnan Hadi), “Asal Mula Kumang” (Paternus Hanye) serta “Awal Ciptaan dan Sistem Perladangan” (Edy Kiang).
Diakui Abdul Hamid saat itu Untan Press minim penulis. “Tapi karena kita mendapatkan dana, jadi tetap harus kita hasilkan terbitan meskipun penulisnya sebagian merupakan pengurus Untan Press sendiri,” ungkapnya.
Sekretaris Untan Press, Edy Kiang mengatakan tidak mengetahui penyebab minimnya penulis yang ingin karyanya diterbitkan, padahal sejak berdiri sudah melakukan sosialisasi ke fakultas-fakultas.
Namun, pernyataan Edy ditampik sebagian dosen yang menjadi responden pada poling yang disebar. Sebagian besar dosen tersebut menyatakan kalau ketidaktahuan mereka dikarenakan Untan Press tidak melakukan publikasi dan sosialisasi (Baca: Hasil Jajak Pendapat “Menguak Keberadaan Untan Press”).
Masih dari keterangan Edy kendala lain adalah tidak adanya alokasi dana dari Untan. Meskipun dalam SK yang ditandatangani Purnamawati (rektor pada masa itu-red) disebutkan kalau biaya yang dikeluarkan Untan Press dibebankan kepada anggaran Untan. Tetapi itu hanyalah ‘hitam diatas putih’ yang realisasinya tidak pernah ada dari awal berdiri sampai saat ini.
Kondisi Untan Press makin kabur setelah berakhirnya bantuan dana penerbitan Ford Foundation. Rupanya buku berjudul “Televisi Daerah Diantara Himpitan Kapitalisme Televisi” karya Redatin Parwadi, merupakan buku terakhir menjelang mati surinya Untan Press. Buku ini terbit pada 2004 secara swadana. “Saat itu saya mencari sendiri sponsor untuk buku itu dan Pemda bersedia membantu. Saya pikir Untan Press sudah seharusnya dikembangkan karena badan penerbit merupakan citra bagi Perguruan Tinggi. Saya sangat menyayangkan jika dosen Untan harus menerbitkan buku di luar padahal di sini (Untan-red) ada,” kata dosen Fisipol Untan ini.
Manajemen Untan Press
Sejak berdiri belum ada buku yang murni dikeluarkan Untan Press sendiri, mulai dari dana hingga administrasinya. Saat mendapat hibah dari Ford Foundation, Untan Press hanya mengurus masalah administrasi, permintaan ijin ISBN dan setting buku. Sama halnya saat menerbitkan buku terakhir karya Redatin Parwadi. Menurut Edy Kiang, hal tersebut terjadi karena Untan Press memang tidak memiliki dana penerbitan. Padahal, dana itu yang nantinya digunakan sebagai biaya produksi, fee penulis serta administrasi penerbitan. Hingga saat ini, pihaknya masih mencari terobosan baru, salah satunya belajar dari penerbit-penerbit lain yang sudah cukup dikenal masyarakat.
Untan Press sendiri belum memiliki prosedur formil bagi penulis yang mau menerbitkan tulisan atau hasil penelitiannya. Dari penulis yang pernah menerbitkan buku disana, ada beberapa yang menyerahkan hasil tulisan yang siap cetak namun ada juga yang menyerahkan pengeditannya kepada Untan Press.
Si penulis juga mencari atau mengeluarkan biaya penerbitan sendiri untuk bukunya. “Sementara ini kita belum mempunyai prosedur yang formil, dari buku yang diterbitkan, biasanya kita hanya meminta 50 exemplar untuk dikirim ke perpustakaan nasional maupun perpustakaan daerah yang diwajibkan bagi setiap buku yang sudah diterbitkan,” ujar Edy Kiang sebagai perwakilan dari Ahmad Tohardi selaku ketua Untan Press yang sedang melanjutkan studi di Yogyakarta.
Tiap buku yang diterbitkan, jumlahnya diatas 300 eksemplar karena jika jumlahnya dibawah itu, biayanya akan jauh lebih besar. Karena biaya yang digunakan Untan Press selalu didapat dari bantuan pihak ketiga sehingga untuk fee penulis berdasarkan kesepakatan penulis dengan pihak ketiga.
Mengenai belum adanya prosedur formil dalam badan penerbit ini, dikatakan Purek IV, Alamsyah karena pengurusnya kurang berpengalaman mengelola suatu badan penerbit. “Ini semakin membuat Untan Press tidak berkembang,” jawabnya.
Anggota IKAPI Kalbar Yang Vakum
Keanggotaan Untan Press dalam Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) terhitung sejak 1 Maret 2003 dan sudah diperpanjang pada tahun 2006 lalu hingga tahun 2010 mendatang. Masih ada 6 penerbit lainnya yakni Fahruna Bahagia, Stain Press, Samudra Mas, Insan Cita, Romeo Grafika dan Kami yang tergabung dalam kumpulan badan penerbit yang diketuai Uray Husna Asmara ini.
Sebelum menjadi anggota IKAPI Untan Press telah menerbitkan 3 buku antara lain Setetes Embun Penyejuk Jagad merupakan kerjasama dengan Yayasan Mujahidin Pontianak (Syafarudin Usman MHD, Muhamad Nur Hasan, Nur Iskandar Hasan), Djampea kerjasama dengan Dewan Kesenian Kalbar (M Yanis), dan sejarah Universitas Tanjungpura (Ahmad Tohardi, Edy Kiang). Namun setelah buku terakhir yang diterbitkan pada tahun 2004 mengenai Televisi Daerah Diantara Himpitan Kapitalisme Televisi, Untan Press semakin tak terdengar lagi. “Saya juga tidak tahu kenapa, apa mungkin sosialisai kurang atau dana dari univeristas yang tidak ada,” ungkap Uray.
Sebagai ketua IKAPI dirinya selalu mengingatkan para pengelola Untan Press akan kevakumannya namun dari pihak Untan Press menjawab memang belum ada tulisan yang masuk. Di dalam keanggotaan IKAPI, Untan Press termasuk yang vakum dalam menerbitkan buku dibanding penerbit lainnya.
Ini sangat disayangkannya padahal penerbit di suatu perguruan tinggi dapat membawa nama baik di tengah lembaga pendidikan lainnya. Namun tak banyak yang dapat dilakukannya karena tumbuh kembangnya penerbit itu tergantung dari penerbitnya sendiri. “Bagi penerbit yang vakum juga tidak ada sanksi namun akan sangat disayangkan jika dalam universitas kita yang telah lama memiliki penerbit sendiri tapi tidak aktif,” ujar Uray yang pernah menjadi pimpinan STKIP.
Kurang Perhatian Universitas ?
Pembantu Rektor IV, Alamsyah mengungkapkan universitas memang tidak memiliki dana untuk alokasi penerbit Untan Press. “Kami sudah berupaya tetapi dana yang kita miliki memang terbatas,” ujarnya. Ia malah menyetujui jika dosen Untan menerbitkan tulisannya di luar Untan karena penerbit sendiri terkendala pada masalah dana. “Malah bagus dosen-dosen kita ke luar (penerbit-red) untuk menerbitkan tulisannya karena di sini tidak memiliki dana,” anjurnya.
Sementara Abdul Hamid menilai untuk dana penerbitan sebenarnya tergantung pada pemimpinnya. “Jika pemimpin komitmen untuk mengembangkan suatu badan penerbit maka pasti menyisihkan dana untuk menunjukkannya,” ujarnya.
Ketua IKAPI Kalbar, Uray Husna Asmara mengungkapkan hal yang sama “Saya melihat dari rektor sampai Purek IV tidak rajin menulis karena kesibukan masing-masing sehingga kurang perhatian terhadap penerbit.” Kalau seorang pimpinan mengetahui pentingnya penerbitan buku seharusnya dialoksikan dana. Sarannya lagi dalam suatu badan penerbit diharapkan para pengelolanya harus orang yang mempunyai kemampuan mengedit, bukan hanya mengurus administrasi saja.
Usulan juga disampaikan Redatin yang berharap demi kemajuan Untan Press perlu ditunjang dua hal, pertama biaya penerbitan dan kedua pengelolanya yang aktif. Pengelola aktif disini juga harus memiliki nilai kejuangan, motivasi dan kreativitas yang tinggi serta mempunyai waktu untuk bisa sepenuhnya terjun dalam penerbitan. “Sangat disayangkan kenapa rektor tidak peduli, padahal Untan Press kalau dikembangkan dapat meningkatkan citra Untan di mata universitas lain.”
Chairil Effendi sebagai rektor terpilih yang beberapa waktu lalu sempat menerbitkan delapan buku lewat jasa STAIN Press mengatakan bahwa ia akan mempertanyakan kembali keinginan pengurus sekarang untuk mengelola Untan Press. “Jika mereka tidak memiliki keinginan untuk mengembangkan saya juga tidak akan memaksakan. Saya akan menawarkan kepada yang lain untuk mengurus,” janjinya.
Berkaca Dari Badan Penerbit Lain
Salah satu penerbit di Pontianak yang jasanya cukup sering digunakan oleh dosen Untan adalah STAIN Press. Padahal lahirnya STAIN Press bersamaan dengan Untan Press. Kesamaan lainnya, STAIN Press pun tidak mendapat alokasi dana dari lembaga (STAIN). Hal ini lantaran secara struktural badan penerbit tersebut tidak berada di bawah naungan STAIN. Alasan tetap memakai nama STAIN dijawab Hermansyah, koordinator penerbitan STAIN Press sebagai keinginan tetap menjadi bagian dari STAIN.
Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan niat para pengelolanya untuk mengembangkan penerbit tersebut. Hanya dengan tiga orang pengelola, hingga kini STAIN Press sudah menerbitkan 39 buku, dua diantaranya pernah dicetak di Malaysia dan Brunei Darussalam. “Alhamdulillah kita hanya mengandalkan semangat untuk mengembangkan penerbit ini dan mencoba memfasilitasi mereka yang ingin menerbitkan buku,” ujar Hermansyah.
Meski begitu, STAIN Press pernah menerbitkan buku mulai dari administrasi sampai biaya penerbitan dikeluarkannya sendiri. Ini dilakukan terhadap hasil-hasil seminar yang dilakukan di STAIN yang sudah diseleksi. Setelah terbit, buku tersebut dijual dan hasilnya akan digunakan lagi untuk penerbitan selanjutnya. Namun karena dana dari hasil penjualan buku terbatas jadi untuk penulis lain yang ingin menerbitkan buku di sana harus mengeluarkan biaya sendiri.
Kewenangan STAIN Press juga hanya sampai pada diterbitkannya buku tersebut, untuk pemasaran diserahkan lagi kepada penulis. STAIN Press hanya mendapat 20-30 eksemplar untuk arsip dan pengiriman ke perpustakaan nasional dan daerah. “Penulis memberikan 500 ribu untuk mendapatkan ijin ISBN dan pengiriman ke perpustakaan-perpustakaan,” tambahnya lagi.
Untuk jenis terbitannya STAIN Press memang lebih mengutamakan buku-buku yang bersifat lokal contain karena mempunyai ciri khas tersendiri sehingga tak mengherankan jika setiap terbitannya selalu dimintakan oleh perpustakaan kongres Amerika.
Saat ini STAIN Press belum memiliki sekretariat sendiri sehingga masih menumpang di ruang P3M namun rencananya ke depan STAIN Press akan menggunakan ruang Malay Corner (sudut melayu). Tidak memiliki ruangan sendiri, tidak juga mendapat bantuan dana dari lembaga tidak membuat para pengelolanya berhenti menerbitkan buku karena menurut Hermansyah lagi dukungan moral dari lembaga sudah sangat besar apalagi bisa memfasilitasi penulis menerbitkan bukunya.[]
Sebuah fakultas di Untan di suatu pagi. Tim Miun sengaja dikerahkan guna menyebarkan kuesioner di tiap fakultas. Pagi-pagi sekali polester telah mencari responden. Jajak pendapat yang diangkat dengan tema menelusuri jejak Untan Press ini dikhususkan untuk para dosen di Untan. Begitu target didapat, kertas pun diserahkan. Setelah sebelumnya dijelaskan maksud kedatangan Miun. Dosen tersebut sedikit mengerutkan dahi membaca isi dari kertas tersebut. Dengan wajah penuh tanya ia berkata “Untan Press itu apa?.”
Bisa dibilang sebagian besar dosen yang menjadi responden menanyakan hal sama. Memang, fenomena ini terjadi di Untan. Setelah berdiri sejak lima tahun lalu, nama Untan Press ternyata masih asing saja bagi sebagian dosen di Untan. Padahal, semenjak dilahirkan tanggal 6 Februari 2002, Untan Press punya peran penting. Lahir dari SK rektor No.222/J22/2002 dan sebagai penanggungjawab teknis ada di bawah naungan Pembantu Rektor IV. Hingga sekarang badan penerbit ini masih diketuai oleh Ahmad Tohardi. Menurut Abdul Hamid yang sempat menjabat Purek IV periode1999-2003, berdirinya Untan Press karena perguruan tinggi dipandang perlu memiliki badan penerbit sendiri.
Setahun kemudian, tepatnya pada 2003, Untan Press mendapatkan bantuan dana dari Ford Foundation yang bekerjasama dengan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Dari hasil kerjasama tersebut, tercetuslah program pustaka regional Pontianak yang bertujuan memberikan subsidi dana bagi beberapa badan penerbit di Pontianak. Selain Untan Press, Stain Press dan Fahruna Bahagia juga memperoleh kucuran dana. Lewat kerjasama ini, Untan Press berhasil menerbitkan 4 buku antara lain “Potret Pengusaha Etnis Cina di Kalbar” (Ahmad Tohardi),
“Syakh Ahmad Khatib Sambas” (Erwin Mahrus, Rosadi Jamani, Edy Kusnan Hadi), “Asal Mula Kumang” (Paternus Hanye) serta “Awal Ciptaan dan Sistem Perladangan” (Edy Kiang).
Diakui Abdul Hamid saat itu Untan Press minim penulis. “Tapi karena kita mendapatkan dana, jadi tetap harus kita hasilkan terbitan meskipun penulisnya sebagian merupakan pengurus Untan Press sendiri,” ungkapnya.
Sekretaris Untan Press, Edy Kiang mengatakan tidak mengetahui penyebab minimnya penulis yang ingin karyanya diterbitkan, padahal sejak berdiri sudah melakukan sosialisasi ke fakultas-fakultas.
Namun, pernyataan Edy ditampik sebagian dosen yang menjadi responden pada poling yang disebar. Sebagian besar dosen tersebut menyatakan kalau ketidaktahuan mereka dikarenakan Untan Press tidak melakukan publikasi dan sosialisasi (Baca: Hasil Jajak Pendapat “Menguak Keberadaan Untan Press”).
Masih dari keterangan Edy kendala lain adalah tidak adanya alokasi dana dari Untan. Meskipun dalam SK yang ditandatangani Purnamawati (rektor pada masa itu-red) disebutkan kalau biaya yang dikeluarkan Untan Press dibebankan kepada anggaran Untan. Tetapi itu hanyalah ‘hitam diatas putih’ yang realisasinya tidak pernah ada dari awal berdiri sampai saat ini.
Kondisi Untan Press makin kabur setelah berakhirnya bantuan dana penerbitan Ford Foundation. Rupanya buku berjudul “Televisi Daerah Diantara Himpitan Kapitalisme Televisi” karya Redatin Parwadi, merupakan buku terakhir menjelang mati surinya Untan Press. Buku ini terbit pada 2004 secara swadana. “Saat itu saya mencari sendiri sponsor untuk buku itu dan Pemda bersedia membantu. Saya pikir Untan Press sudah seharusnya dikembangkan karena badan penerbit merupakan citra bagi Perguruan Tinggi. Saya sangat menyayangkan jika dosen Untan harus menerbitkan buku di luar padahal di sini (Untan-red) ada,” kata dosen Fisipol Untan ini.
Manajemen Untan Press
Sejak berdiri belum ada buku yang murni dikeluarkan Untan Press sendiri, mulai dari dana hingga administrasinya. Saat mendapat hibah dari Ford Foundation, Untan Press hanya mengurus masalah administrasi, permintaan ijin ISBN dan setting buku. Sama halnya saat menerbitkan buku terakhir karya Redatin Parwadi. Menurut Edy Kiang, hal tersebut terjadi karena Untan Press memang tidak memiliki dana penerbitan. Padahal, dana itu yang nantinya digunakan sebagai biaya produksi, fee penulis serta administrasi penerbitan. Hingga saat ini, pihaknya masih mencari terobosan baru, salah satunya belajar dari penerbit-penerbit lain yang sudah cukup dikenal masyarakat.
Untan Press sendiri belum memiliki prosedur formil bagi penulis yang mau menerbitkan tulisan atau hasil penelitiannya. Dari penulis yang pernah menerbitkan buku disana, ada beberapa yang menyerahkan hasil tulisan yang siap cetak namun ada juga yang menyerahkan pengeditannya kepada Untan Press.
Si penulis juga mencari atau mengeluarkan biaya penerbitan sendiri untuk bukunya. “Sementara ini kita belum mempunyai prosedur yang formil, dari buku yang diterbitkan, biasanya kita hanya meminta 50 exemplar untuk dikirim ke perpustakaan nasional maupun perpustakaan daerah yang diwajibkan bagi setiap buku yang sudah diterbitkan,” ujar Edy Kiang sebagai perwakilan dari Ahmad Tohardi selaku ketua Untan Press yang sedang melanjutkan studi di Yogyakarta.
Tiap buku yang diterbitkan, jumlahnya diatas 300 eksemplar karena jika jumlahnya dibawah itu, biayanya akan jauh lebih besar. Karena biaya yang digunakan Untan Press selalu didapat dari bantuan pihak ketiga sehingga untuk fee penulis berdasarkan kesepakatan penulis dengan pihak ketiga.
Mengenai belum adanya prosedur formil dalam badan penerbit ini, dikatakan Purek IV, Alamsyah karena pengurusnya kurang berpengalaman mengelola suatu badan penerbit. “Ini semakin membuat Untan Press tidak berkembang,” jawabnya.
Anggota IKAPI Kalbar Yang Vakum
Keanggotaan Untan Press dalam Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) terhitung sejak 1 Maret 2003 dan sudah diperpanjang pada tahun 2006 lalu hingga tahun 2010 mendatang. Masih ada 6 penerbit lainnya yakni Fahruna Bahagia, Stain Press, Samudra Mas, Insan Cita, Romeo Grafika dan Kami yang tergabung dalam kumpulan badan penerbit yang diketuai Uray Husna Asmara ini.
Sebelum menjadi anggota IKAPI Untan Press telah menerbitkan 3 buku antara lain Setetes Embun Penyejuk Jagad merupakan kerjasama dengan Yayasan Mujahidin Pontianak (Syafarudin Usman MHD, Muhamad Nur Hasan, Nur Iskandar Hasan), Djampea kerjasama dengan Dewan Kesenian Kalbar (M Yanis), dan sejarah Universitas Tanjungpura (Ahmad Tohardi, Edy Kiang). Namun setelah buku terakhir yang diterbitkan pada tahun 2004 mengenai Televisi Daerah Diantara Himpitan Kapitalisme Televisi, Untan Press semakin tak terdengar lagi. “Saya juga tidak tahu kenapa, apa mungkin sosialisai kurang atau dana dari univeristas yang tidak ada,” ungkap Uray.
Sebagai ketua IKAPI dirinya selalu mengingatkan para pengelola Untan Press akan kevakumannya namun dari pihak Untan Press menjawab memang belum ada tulisan yang masuk. Di dalam keanggotaan IKAPI, Untan Press termasuk yang vakum dalam menerbitkan buku dibanding penerbit lainnya.
Ini sangat disayangkannya padahal penerbit di suatu perguruan tinggi dapat membawa nama baik di tengah lembaga pendidikan lainnya. Namun tak banyak yang dapat dilakukannya karena tumbuh kembangnya penerbit itu tergantung dari penerbitnya sendiri. “Bagi penerbit yang vakum juga tidak ada sanksi namun akan sangat disayangkan jika dalam universitas kita yang telah lama memiliki penerbit sendiri tapi tidak aktif,” ujar Uray yang pernah menjadi pimpinan STKIP.
Kurang Perhatian Universitas ?
Pembantu Rektor IV, Alamsyah mengungkapkan universitas memang tidak memiliki dana untuk alokasi penerbit Untan Press. “Kami sudah berupaya tetapi dana yang kita miliki memang terbatas,” ujarnya. Ia malah menyetujui jika dosen Untan menerbitkan tulisannya di luar Untan karena penerbit sendiri terkendala pada masalah dana. “Malah bagus dosen-dosen kita ke luar (penerbit-red) untuk menerbitkan tulisannya karena di sini tidak memiliki dana,” anjurnya.
Sementara Abdul Hamid menilai untuk dana penerbitan sebenarnya tergantung pada pemimpinnya. “Jika pemimpin komitmen untuk mengembangkan suatu badan penerbit maka pasti menyisihkan dana untuk menunjukkannya,” ujarnya.
Ketua IKAPI Kalbar, Uray Husna Asmara mengungkapkan hal yang sama “Saya melihat dari rektor sampai Purek IV tidak rajin menulis karena kesibukan masing-masing sehingga kurang perhatian terhadap penerbit.” Kalau seorang pimpinan mengetahui pentingnya penerbitan buku seharusnya dialoksikan dana. Sarannya lagi dalam suatu badan penerbit diharapkan para pengelolanya harus orang yang mempunyai kemampuan mengedit, bukan hanya mengurus administrasi saja.
Usulan juga disampaikan Redatin yang berharap demi kemajuan Untan Press perlu ditunjang dua hal, pertama biaya penerbitan dan kedua pengelolanya yang aktif. Pengelola aktif disini juga harus memiliki nilai kejuangan, motivasi dan kreativitas yang tinggi serta mempunyai waktu untuk bisa sepenuhnya terjun dalam penerbitan. “Sangat disayangkan kenapa rektor tidak peduli, padahal Untan Press kalau dikembangkan dapat meningkatkan citra Untan di mata universitas lain.”
Chairil Effendi sebagai rektor terpilih yang beberapa waktu lalu sempat menerbitkan delapan buku lewat jasa STAIN Press mengatakan bahwa ia akan mempertanyakan kembali keinginan pengurus sekarang untuk mengelola Untan Press. “Jika mereka tidak memiliki keinginan untuk mengembangkan saya juga tidak akan memaksakan. Saya akan menawarkan kepada yang lain untuk mengurus,” janjinya.
Berkaca Dari Badan Penerbit Lain
Salah satu penerbit di Pontianak yang jasanya cukup sering digunakan oleh dosen Untan adalah STAIN Press. Padahal lahirnya STAIN Press bersamaan dengan Untan Press. Kesamaan lainnya, STAIN Press pun tidak mendapat alokasi dana dari lembaga (STAIN). Hal ini lantaran secara struktural badan penerbit tersebut tidak berada di bawah naungan STAIN. Alasan tetap memakai nama STAIN dijawab Hermansyah, koordinator penerbitan STAIN Press sebagai keinginan tetap menjadi bagian dari STAIN.
Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan niat para pengelolanya untuk mengembangkan penerbit tersebut. Hanya dengan tiga orang pengelola, hingga kini STAIN Press sudah menerbitkan 39 buku, dua diantaranya pernah dicetak di Malaysia dan Brunei Darussalam. “Alhamdulillah kita hanya mengandalkan semangat untuk mengembangkan penerbit ini dan mencoba memfasilitasi mereka yang ingin menerbitkan buku,” ujar Hermansyah.
Meski begitu, STAIN Press pernah menerbitkan buku mulai dari administrasi sampai biaya penerbitan dikeluarkannya sendiri. Ini dilakukan terhadap hasil-hasil seminar yang dilakukan di STAIN yang sudah diseleksi. Setelah terbit, buku tersebut dijual dan hasilnya akan digunakan lagi untuk penerbitan selanjutnya. Namun karena dana dari hasil penjualan buku terbatas jadi untuk penulis lain yang ingin menerbitkan buku di sana harus mengeluarkan biaya sendiri.
Kewenangan STAIN Press juga hanya sampai pada diterbitkannya buku tersebut, untuk pemasaran diserahkan lagi kepada penulis. STAIN Press hanya mendapat 20-30 eksemplar untuk arsip dan pengiriman ke perpustakaan nasional dan daerah. “Penulis memberikan 500 ribu untuk mendapatkan ijin ISBN dan pengiriman ke perpustakaan-perpustakaan,” tambahnya lagi.
Untuk jenis terbitannya STAIN Press memang lebih mengutamakan buku-buku yang bersifat lokal contain karena mempunyai ciri khas tersendiri sehingga tak mengherankan jika setiap terbitannya selalu dimintakan oleh perpustakaan kongres Amerika.
Saat ini STAIN Press belum memiliki sekretariat sendiri sehingga masih menumpang di ruang P3M namun rencananya ke depan STAIN Press akan menggunakan ruang Malay Corner (sudut melayu). Tidak memiliki ruangan sendiri, tidak juga mendapat bantuan dana dari lembaga tidak membuat para pengelolanya berhenti menerbitkan buku karena menurut Hermansyah lagi dukungan moral dari lembaga sudah sangat besar apalagi bisa memfasilitasi penulis menerbitkan bukunya.[]