Monday, November 30, 2009

Civitas Khusus / Edisi 47 / Opini Civitas

Mahasiswa; Antara Intelektualitas, Gerakan Moral dan Tindakan Anarki
Oleh:
Neneng Purwanti


Mahasiswa adalah agent of change. Slogan itulah yang selalu disuarakan oleh kebanyakan mahasiswa. Slogan yang terlanjur melekat dan didentikkan pada seorang mahasiswa. Hanya saja slogan seperti ini harusnya diberikan pada mahasiswa dengan kriteria yang seperti apa? Tentunya pada mahasiswa yang bisa membawa perubahan positif bagi diri sendiri, keluarga, bangsa dan negaranya.
Ketika bicara mengenai mahasiswa kaitannya dengan generasi muda, dengan semangat muda tentunya masih kreatif sehingga sangat produktif sebagai elemen potensial bagi progress sebuah negara. Untuk itu mahasiswa yang dimaksud adalah mahasiswa yang kehidupannya dipenuhi dengan spirit idealisme tinggi, penuh kreatifitas dan mempunyai aura positif dalam menyikapi segala masalah, baik yang internal maupun yang eksternal.
Mahasiswa secara harfiah tentu akan terkait dengan ciri-ciri tradisi intelektualitas mahasiswa, yang harus memiliki poin-poin seperti; punya rasa ingin tahu yang tinggi, punya rasa disiplin, berpikir yang ilmiah, inovatif, kreatif, objektif, mandiri, terbuka, berwawasan luas, progresif, dan produktif, yang mana semua itu terwujud dalam tradisi reading, writing, discussing and organizing.
Sekarang banyak mahasiswa yang merasa bangga atau ”proud” ketika menyandang predikat mahasiswa, apalagi dengan slogan tambahan lainnya seperti mahasiswa sebagai agent of change, agent of control dan agent of development. Padahal dengan predikat yang mereka sandang akan muncul banyak tuntutan yang wajib dilakukan yakni keharusan untuk memberikan kontribusi riil minimal bagi kehidupan mereka sendiri.
Jika dirunut, sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peran kepemudaan masa itu yang sebagian besar pelajar STOVIA. Ketangguhan mahasiswa juga terbukti dengan keikutsertaan mahasiswa menurunkan rezim-rezim. Namun kini pemuda termasuk mahasiswa sangat dimanjakan oleh keadaan dimana mereka tidak lagi harus berjuang dengan keras. Keadaan inilah yang membuat sebagian pemuda tidak lagi respect dengan kondisi sosial saat ini yang semakin terpuruk. Bahkan untuk menghidupkan dinamika organisasi saja sudah kehilangan gairah. Contoh kecil banyak organisasi kepemudaan atau kemahasiswaan yang vakum karena kehabisan kader dengagn idealisme tinggi. Seperti kampus yang kian hedonis dan memudar intelektualitasnya, apalagi organisasi kepemudaan seperti KNPI yang lebih tepat sebagai organisasi Kakek Nenek Pemuda Indonesia ketimbang Komite Nasional Pemuda Indonesia.
Saat generasi kepemudaan mengalami kebobrokan dalam organ positif justru semakin marak muncul organ-organ yang mengidentifikasikan dirinya sebagai perkumpulan pemuda primordial yang tidak jelas visi-misinya serta apa yang akan menjadi kontribusi mereka untuk bangsa dan negaranya.
Satu lagi tanda-tanda dari semakin terpuruknya karakteristik dari mahasiswa/pemuda yang biasa diidentikkan sebagai agen perubahan dan pembangunan, yakni semakin maraknya aksi brutal dan anarki dari kalangan mahasiswa yang katanya kaum intelektual dan berperan sebagai penyalur aspirasi rakyat sebagai wujud kepekaan terhadap masalah-masalah sosial. Hal ini jelas menjatuhkan kredibilitas mahasiswa sebagai generasi pejuang pembela kaum tertindas!
Beda kasusnya ketika gerakan kepemudaan (Mahasiswa) yang terjadi pada tahun 1998 dimana saat itu mereka benar-benar memperjuangkan kebebasan berdemokrasi secara murni sebagai gerakan moral tanpa ada unsur kepentingan yang lain, sehingga gerakan mahasiswa pada saat itu mendapat reward yang luar biasa dari masyarakat.
Dalam memahami gerakan mahasiswa, perlu dilihat dari platform gerakannya. Sejak awal gerakan mahasiswa mengidentifikasikan dirinya sebagai gerakan moral, dengan tuntutan seputar keadilan, kebebasan, pemerataan kesejahteraan, dan hak-hak asasi manusia. Ini menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa sarat dengan visi kebangsaan, keagamaan dan kemanusiaan. Seharusnya ini yang terus digalakkan, sehingga gerakan mahasiswa tetap pada jalurnya.
Namun bermasalah jika mengartikulasikan suatu gerakan dengan keanarkisan, karena malah akan menyudutkan dan menjadi gambaran keterpurukan mahasiswa saat ini. Apalagi memang sudah terlihat mayoritas mahasiswa dan pemuda saat ini menjadi korban life style yang hedonis kapitalistik, dengan tersedianya segala hal yang diinginkan meskipun secara sadar bahwa semua itu tidak terlalu mereka butuhkan.
Menurut Romy Febri, mantan aktivis dan wartawan senior Tempo, ada lima jenis mahasiswa yang dapat diidentifikasi, yakni mahasiswa dengan tipe strukturalis, profesional, hedonis konsumtif, idealis dan oportunis. Sekarang tipe yang banyak bermunculan di kalangan mahasiswa adalah tipe hedonis dan oportunis, sehingga cukup sudah gambaran yang sangat nyata terlihat bahwa keterpurukan itu terjadi baik secara dinamika organisasi ataupun secara personal. Jika ini terus terjadi, maka Indonesia akan benar-benar mengalami krisis generasi muda produktif yang menjadi pengemban tugas bangsa dan negaranya sebagai generasi pro-perubahan.
Indonesia masih mengalami keterjajahan, masih banyak kemiskinan dan keterbelakangan, mudah-mudahan jangan ditambah lagi dengan keterpurukan generasi muda terutama mahasiswa yang seharusnya menjadi gerbong pro perubahan. Bergerak dan bergeraklah mahasiswa Indonesia, bangkitlah bersama-sama melawan keterjajahan melawan penindasan dan memperjuangkan perubahan!

Penulis adalah Mahasiswi Fisip ’07 Untan,